Fatwa MA Berkaitan Lolosnya Eddy Sebagai Calon BPK Terindikasi Politis


shadow

Financeroll – Fatwa Mahkamah Agung yang meloloskan Eddy Mulyadi Soepardi sebagai calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terindikasi ada campur tangan politik.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menyatakan terbitnya fatwa MA hanya dalam tempo sehari mengindikasikan tidak ada proses pengkajian yang komprehensif oleh MA dalam menetapkan status Eddy Mulyadi sebagai anggota terpilih BPK.

Publik akan menilai jika kajian MA itu tanpa ada pertimbangan yang cukup, terutama hitung hitungan politis. Pada akhirnya, tidak salah jika publik menilai fatwa MA tersebut ada potensi campur tangan politik.

Sepanjang sejarah tidak ada fatwa MA yang terbit hanya dalam waktu sehari. Pertimbangan MA biasanya membutuhkan waktu beberapa hari, terutama jika terkait hal-hal yang berbau politis. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya fatwa ke ranah politik.

Kepercayaan publik terhadap transparansi maupun demokrasi bakal kian merosot. Apalagi dengan kondisi saat ini, dimana banyak sekali persoalan terkait demokrasi hingga pandangan publik terhadap DPR yang tidak pro rakyat.

Seperti diberitakan, selentingan yang menyebutkan bahwa fatwa MA—yang memuluskan Eddy Mulyadi Soepardi sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan periode 2014-2019, dibuat ha – nya dalam waktu sehari ternyata benar terbukti.

Berdasarkan salinan dokumen yang diperoleh Bisnis, fatwa MA bernomor 72/IMA/AK01/IX/2014 itu tertanggal 25 September 2014. Fatwa tersebut merupakan jawaban atas surat DPR kepada MA bernomor PW/09510/DPR.RI/IX/2014 tentang permintaan fatwa tertanggal 24 September 2014.

DPR mengirimkan surat permintaan fatwa itu sehari setelah rapat paripurna ‘menggantung’ status Eddy sebagai calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena dianggap tidak memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan Pasal 13 huruf (j) UU No.15/ 2006 tentang BPK.

Fatwa tersebut hanya ditandatangani oleh Ketua MA Hatta Ali. Tidak ada tanda tangan lain, termasuk Wakil Ketua MA yang membidangi masalah nonyudisial. Tidak pula ada keterangan di dalam fatwa itu, apakah ada rapat hakim agung atau kamar terkait sebelum fatwa itu diterbitkan.

Di samping itu, terkait dengan selentingan adanya pertemuan Ketua BPK dan Anggota III BPK dengan Ketua MA dalam proses penerbitan fatwa MA untuk Eddy itu, dinilai hal tersebut sangat tidak etis, apalagi dilakukan oleh Ketua BPK.

Mungkin BPK atau MA mengklaim tidak apa-apa, tetapi publik pasti berpikir ada udang di balik batu. Saya kira ini tidak etis di dalam etika berproses. Ini mencederai proses-proses yang ada. Kepercayaan publik tercederai.

Ada harapan ke depan fatwa MA jauh dari kepentingan elit politik demi meningkatkan kepercayaan publik terhadap alat kekuasaan negara. Fatwa MA tersebut merupakan peringatan bagi DPR untuk tidak asal memilih anggota BPK.

Rizal Djalil sendiri yang dikonfirmasi terpisah mengenai pertemuannya dengan Ketua MA Hatta Ali proses pembuatan fatwa MA untuk Eddy memilih bungkam. “No comment,” ujarnya seusai diambil sumpahnya sebagai anggota BPK 2014-2019 di Gedung Sekretariat MA.

Anggota BPK seharusnya mampu memberikan penjelasan kepada publik untuk menjernihkan permasalahan. Publik akan kian apatis terhadap keberadaan BPK apabila BPK tidak memberikan informasi atau jawaban yang jelas terhadap publik.

MA sendiri akhirnya secara resmi mengambil sumpah lima anggota BPK. Selain Rizal, anggota BPK yang diambil sumpah nya adalah Moermahardi Soerja Djanegara, Harry Azhar Azis, Achsanul Qosasi, dan Eddy Mulyadi Soepardi.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*