ARLI : Industrialisasi Rumput Laut Perlu Roadmap

Industri rumput laut adalah salah satu industri komoditas pendukung blue economy yang sangat berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun, Asosiasi Rumput Laut Indonesia  (ARLI) menilai langkah pemerintah untuk mendorong industrialisasi rumput laut masih memerlukan perencanaan yang matang.

Rumput LautFINANCEROLL – Menurut Ketua ARLI Safari Azis, Roadmap untuk industrialisasi sangat diperlukan agar masyarakat rumput laut secara terstruktur dan optimal dapat menjadikan rumput laut sebagai sumber kemakmuran. Selain itu, Roadmap diharapkan dapat menjadi acuan bagi pola pngembangan industri rumput laut yang jelas dan bisa dipertangnggungjawabkan.

“Selama ini upaya untuk industrialisasi sifatnya masih sporadis dan belum terarah, sehingga peja jalan itu sangat diperlukan agar semua pihak bisa mengetahui posisi dan aksi yang harus dijalankan,” kata Safari.

Pihaknya menyayangkan bahwa saat ini belum ada platform kerja bersama diantara beberapa Kementerian yang terlibat.  Menurut dia, masing-masing Kementerian seharusnya dapat duduk bersama dengan stakeholder untuk membuat kesepakatan mengembangkan Industrialisasi rumput laut sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 27/ 2012 tentang Industrialisasi Kelautan dan Perikanan.

Safari mengatakan, dengan berkembangnya industri pangan, kosmetik hingga pupuk baik secara nasional maupun global harusnya dapat menguntungkan posisi Indonesia sebagai salah satu Negara penghasil rumput laut terbesar di dunia.

Selain belum adanya Roadmap yang jelas, kata dia, industri dalam negeri masih menemui beberapa kendala, utamanya daya saing yang masih rendah jika dibandingkan dengan industri luar negeri. “Industri lokal belum mampu menyerap rumput laut dalam jumlah yang besar dan cenderung belum bisa menyesuaikan dengan harga internasional. Yang terjadi selama ini memang harga rumput laut itu bergantung pada mekanisme pasar, disamping harus memenuhi keekonomian harga petani” ungkap dia.

Safari menerangkan, kondisi sekarang ini penyerapan rumput laut oleh industri nasional baru mencapai sekitar 30% dari produktivitas, sementara ekspor rumput laut yang belum diolah masih banyak dibutuhkan oleh pihak luar meski dengan harga pasaran internasional yang cukup tinggi. Sampai Oktober 2013, ekspor bahan baku dan olahan rumput laut Indonesia mencapai 147.052 ton senilai US$ 132, 48 juta.

“Industri dalam negeri terkadang mengeluh dengan tingginya harga tapi kualitas bahan baku yang menurun, sehingga sulit bersaing dengan para pelaku ekspor. Oleh karena itu, pasar dalam negeri untuk hasil olahan Rumput Laut ini perlu dibangun terlebih dahulu agar tidak perlu bersaing ketat dengan produk luar negeri atau masuk ke pasar yang sudah penuh,” kata Safari.

Menurut dia, agar berdaya saing industri rumput laut perlu memiliki kejelasan sistem, mulai dari pembudidayaannya, distribusi, sistem logistik hingga perizinan industrinya.

“Kami meminta pada pemerintah supaya dibuatkan Road Map/Blue Print yang disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan agar regulasi dan strateginya tepat dan membuat industrinya juga berdaya saing,” kata dia.

Safari mengungkapkan, saat ini perizinan bagi Industri pengolahan rumput laut yang beroperasi cenderung disulitkan karena setidaknya harus memiliki 14 macam surat izin yang dikeluarkan oleh antar Kementerian/lembaga yang berbeda-beda sehingga menyebabkan biaya tinggi dan tidak efisien. Pemerintah, kata dia, perlu memikirkan bagaimana agar pelaku usaha baik nasional maupun internasional tertarik untuk berinvestasi dan membangun Industri.

“Proyek dan bantuan – bantuan peralatan dari pemerintah dalam industri pengolahan rumput laut jalan ditempat, karena perencanaannya tidak matang, tidak ekonomis dan tidak ada akses pasar. Kita harapkan pemerintah bisa lebih bijaksana mengambil langkah-langkah yang tepat. Jangan hanya menyerukan industrialisasi, tapi Roadmap dan petunjuk pelaksanaannya  tidak jelas” pungkas Safari.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*