Archives for January 2016

Harga CPO pengiriman April 2016 kembali turun

JAKARTA. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melanjutkan penurunan dalam dua hari beruntun. Penurunan ini disinyalir karena tekanan katalis negatif dari berbagai sisi.

Mengutip Bloomberg, Jumat (29/1) harga CPO kontrak pengiriman April 2016 di Malaysia Derivative Exchange merosot 1,53% ke level RM 2.443 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga ini sudah tergerus 0,69% dalam sepekan terakhir.

“Pertama itu ada faktor penguatan ringgit Malaysia yang cukup signifikan, tentunya hal ini menekan harga CPO,” tutur Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures.

Setelah cukup lama ringgit tertekan di pasar keuangan, koreksi USD memberikan ruang gerak bagi ringgit untuk unggul.

Sementara di sisi lain, harga minyak kedelai pun menurun tajam. Menilik catatan selama tahun 2015 harga minyak kedelai menukik 16% sedangkan harga CPO terangkat 9%.

“Sebagai substitusi pelaku pasar memilih untuk mencari produk yang lebih murah, maka CPO sesaat ditinggalkan,” jelas Wahyu.

Belum lagi dari sisi permintaan tidak ada yang bisa jadi pendongkrak. Menurut Wahyu meski Tahun Baru China sudah di depan mata, tapi permintaan terlihat biasa saja. Padahal secara historis itu, permintaan jelang Imlek terhitung tinggi.

Ini sejalan dengan prediksi CIMB Futures yang mengadakan survei dari 6 traders China bahwa impor dari China akan turun 8% sepanjang Januari 2016 ini. Menurut David Ng, Derivative Specialist Phillip Futures Sdn Bhd, di Kuala Lumpur, pelaku pasar akan memanfaatkan harga kedelai yang murah.

“Namun tren pasangan jangka menengah ke depan masih bullish,” tambah Wahyu.


Distribusi: Kontan Online

Nasib Energi Terbarukan di Tengah Anjloknya Harga Minyak Dunia

Jakarta -Kondisi harga minyak dunia yang terus anjlok, seharusnya tak membuat program realisasi percepatan listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) mandek. Selama ini, pengembangan selalu jalan di tempat, karena biaya listrik dari EBT dinilai lebih mahal ketimbang energi fosil.

Hal itu diungkapkan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh, saat diskusi “Nasib Listrik Energi Baru di Tengah Anjloknya Harga Minyak,” di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (31/1/2016).

Seharusnya, ada atau tanpa fenomena merosotnya harga minyak dunia, penambahan listrik dari EBT harus tetap jalan. Apalagi, banyak daerah terpencil yang hanya bisa teraliri listrik dari energi non fosil seperti matahari, angin, dan mikrohidro.

“Kebijakan EBT sudah jelas di UU mengatur itu. Jangan sampai terjadi semacam kekhawatiran kalau harga minyak turun kemudian ada semacam kekhawatiran. Akhirnya listriknya nggak terbeli,” kata Syamsir.

Syamsir mencontohkan, salah satu bentuk tidak konsistennya pemerintah dalam perluasan EBT adalah proyek energi dari tanaman jarak yang gagal total.

“Dari sisi instrumen harga EBT memang tak cocok di tengah rendahnya minyak. Kaya kasus tanaman jarak, karena tak ada instrumen harga, maka itu gagal sekarang. Harusnya pemerintah itu yang beli jarak. Harus ada subsidi supaya bisa tumbuh,” paparnya.

Ketidakpastian harga, sementara nilai investasinya yang tinggi, kata Syamsir, membuat banyak investor kabur untuk membangun infrastruktur EBT.

“Jadi orang khawatir buat dorong energi terbarukan. Karena takut nggak terbeli, diminta tanam jarak, malah pemerintah akhirnya nggak mampu beli,” tutupnya.

(drk/drk)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Minyak Anjlok, Perusahaan Energi Diambang Kebangkrutan

Jakarta -Merosotnya harga minyak dunia sudah mulai mengikis kinerja perusahaan minyak.

Sebuah analisis Big Crunch menyebutkan, satu dari 5 perusahaan energi kehabisan uang, dalam waktu kurang dari 6 bulan sejak merosotnya harga minyak dunia, sementara 1 dari 3 perusahaan energi tengah diambang kebangkrutan dalam waktu kurang dari setahun. Demikian dilansir CNBC, Minggu (31/1/2016).

Menurut perhitungan Big Crunch, secara keseluruhan aset perusahaan energi mencapai US$ 284 miliar, namun lebih dari 80% aset tersebut hanya dimiliki oleh 25 perusahaan energi besar saja.

Arus kas mereka cenderung positif. Perusahaan yang masih mencatatkan kas negatif, setidaknya masih akan bisa bertahan dalam 2 tahun ke depan. Namun, perusahaan-perusahaan energi skala kecil, yang namanya tidak dikenal seperti ExxonMobil, BP atau Chevron, mereka tidak beruntung.

Menurut Kantor Firma Haynes dan Boones, puluhan perusahaan energi skala kecil sudah mengajukan kebangkrutan pada bulan Desember 2015, karena punya utang hingga US$ 13 miliar.

Banyak lagi yang akan menyusul kebangkrutan tersebut di tahun depan lantaran harga minyak dunia yang terus merosot.

Selain itu, sepertiga dari perusahaan minyak dan gas AS diambang kebangkrutan sejauh harga minyak tidak segera pulih.

Inilah gambaran secara keseluruhan perusahaan-perusahaan energi di dunia, termasuk kinerja saham-saham perusahaan energi.

Arus kinerja mereka belum menunjukkan arus kas yang positif dan kurang dari setahun, mencatatkan rapor merah.

Perusahaan energi skala besar seperti Chevron, ConocoPhillips, dan perusahaan multinasional minyak dan gas Italia, Eni, bahkan mencatatkan arus kas negatif. Mereka menderita kerugian besar.

Chevron membukukan kerugian 31 sen per saham pada perdagangan Jumat (29/1/2016), kerugian kuartalan pertama paling dalam sejak 13 tahun terakhir, imbasnya, belanja modal dipangkas secara besar-besaran. Pembagian dividen juga dikesampingkan.

Di samping itu, perusahaan-perusahaan energi skala kecil menjadi yang paling berisiko menghadapi penurunan harga minyak dunia. Beberapa perusahaan sudah mulai mengambil tindakan dalam menghadapi penurunan arus kas mereka. Perusahaan-perusahaan ini mencoba memangkas margin dan menekan biaya operasional perusahaan agar mampu bertahan di tengah pelemahan harga minyak.

Continental Resources, produsen minyak terbesar kedua di Dakota Utara mengumumkan, pekan ini mereka akan memotong anggaran 2016 sebesar 66% dalam upaya untuk menjaga arus kas mereka. Mereka memperkirakan, harga minyak dunia akan berada di kisaran US$ 37 per barel.

Menambah kesuraman, Hess dan Noble Energy juga telah mengumumkan pemotongan anggaran, awal bulan ini. Lembaga pemeringkat kredit Moody’s menyebutkan, ada 120 perusahaan energi yang akan ditinjau untuk diturunkan peringkat (downgrade) utangnya.

“Harga minyak yang lebih rendah akan melemahkan arus kas perusahaan minyak dan gas secara terintegrasi. Hal ini akan menyebabkan tekanan lebih jauh terhadap rasio keuangan mereka, arus kas bisa menjadi lebih negatif,” sebut Moody’s.

(drk/drk)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Data negatif, Euro tetap ungguli Yen

JAKARTA. Mata uang euro berhasil mengungguli yen di tengah data negatif dari zona Eropa. Mengutip Bloomberg, Jumat (29/1) pasangan EUR/JPY menanjak 0,94% ke level 131,21.

Tonny Mariano, analis PT Esandar Arthamas Berjangka mengatakan, angka inflasi Jepang semakin menjauhi target 2%. Jika tidak dipacu oleh stimulus kemungkinan Jepang akan semakin sulit mencapai target inflasi.

Apalagi di tengah melemahnya harga minyak mentah dunia. Hal tersebut membuat gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda menetapkan kebijakan suku bunga negatif.

“Dari komentar Kuroda, Jepang masih mungkin memperbesar kedalaman minus suku bunganya,” papar Tony.

Komentar Kuroda menyeret yen di hadapan euro meski di tengah data negatif dari Eropa. Di antaranya data penjualan ritel Jerman yang turun ke angka minus 0,2% dari sebelumnya 0,4% dan proyeksi 0,3%.

Lalu data flash CPI Spanyol juga turun ke minus 0,3% dari sebelumnya 0,0% dan proyeksi 0,1%. Demikian juga data M3 money supply yang turun menjadi 4,7% dari sebelumnya 5% dan proyeksi 5,2%.

Tonny menyatakan, posisi yen memang sedang tertekan oleh kebijakan dari BOJ. Namun, yen masih memiliki peluang kenaikan cukup besar mengingat perannya sebagai safe haven. Sedangkan euro lebih diminati sebagai carry trade atau mata uang pendanaan karena suku bunga yang rendah.

“Secara teori posisi euro lebih tertekan,” imbuhnya.

Senin (1/2) pergerakan yen sepi sentimen sedangkan euro menunggu komentar dari Gubernur Bank Sentral Eropa, Mario Draghi.


Distribusi: Kontan Online

Yen terpukul AUD akibat kebijakan suku bunga BOJ

JAKARTA. Kebijakan Bank Sentral Jepang (BOJ) menjadi pukulan bagi mata uang Yen. Akhirnya, Yen pun terlempar di hadapan dollar Australia.

Mengutip Bloomberg, Jumat (29/1) pasangan AUD/JPY menguat 1,95% ke level 85,817 dibanding sehari sebelumnya.

Research and Analyst PT Monex Investindo Futures mengatakan, mata uang Yen tersungkur setelah Bank Sentral Jepang (BOJ) mengumumkan untuk menerapkan suku bunga negatif 0,1% mulai Februari 2016.

“Suku bunga negatif BOJ membuat AUD/JPY menguat signifikan walaupun basis moneter tetap dipertahankan yakni sebesar 80 triliun yen per tahun,” paparnya.

Padahal, di sisi lain data ekonomi Australia negatif. Producer Price Index (PPI) kuartal IV-2015 turun ke angka 0,3% dari kuartal sebelumnya 0,9% dan proyeksi 0,6%. Lalu data kredit dari sektor swasta sebesar 0,5% juga lebih rendah dari proyeksi 0,6% meski naik dari sebelumnya 0,4%.

“AUD sepertinya terbawa sentimen positif dari rally indeks China yang merupakan negara tujuan utama ekspor Australia,” imbuh Faisyal.

Menurut Faisyal, sentimen dari BOJ masih akan mempengaruhi pergerakan Yen di awal pekan. Di sisi lain, pergerakan AUD kemungkinan akan turut terpengaruh oleh rilis data manufaktur China.


Distribusi: Kontan Online