Nasib Energi Terbarukan di Tengah Anjloknya Harga Minyak Dunia

Jakarta -Kondisi harga minyak dunia yang terus anjlok, seharusnya tak membuat program realisasi percepatan listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) mandek. Selama ini, pengembangan selalu jalan di tempat, karena biaya listrik dari EBT dinilai lebih mahal ketimbang energi fosil.

Hal itu diungkapkan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh, saat diskusi “Nasib Listrik Energi Baru di Tengah Anjloknya Harga Minyak,” di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, Minggu (31/1/2016).

Seharusnya, ada atau tanpa fenomena merosotnya harga minyak dunia, penambahan listrik dari EBT harus tetap jalan. Apalagi, banyak daerah terpencil yang hanya bisa teraliri listrik dari energi non fosil seperti matahari, angin, dan mikrohidro.

“Kebijakan EBT sudah jelas di UU mengatur itu. Jangan sampai terjadi semacam kekhawatiran kalau harga minyak turun kemudian ada semacam kekhawatiran. Akhirnya listriknya nggak terbeli,” kata Syamsir.

Syamsir mencontohkan, salah satu bentuk tidak konsistennya pemerintah dalam perluasan EBT adalah proyek energi dari tanaman jarak yang gagal total.

“Dari sisi instrumen harga EBT memang tak cocok di tengah rendahnya minyak. Kaya kasus tanaman jarak, karena tak ada instrumen harga, maka itu gagal sekarang. Harusnya pemerintah itu yang beli jarak. Harus ada subsidi supaya bisa tumbuh,” paparnya.

Ketidakpastian harga, sementara nilai investasinya yang tinggi, kata Syamsir, membuat banyak investor kabur untuk membangun infrastruktur EBT.

“Jadi orang khawatir buat dorong energi terbarukan. Karena takut nggak terbeli, diminta tanam jarak, malah pemerintah akhirnya nggak mampu beli,” tutupnya.

(drk/drk)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*