Minyak Anjlok, Perusahaan Energi Diambang Kebangkrutan

Jakarta -Merosotnya harga minyak dunia sudah mulai mengikis kinerja perusahaan minyak.

Sebuah analisis Big Crunch menyebutkan, satu dari 5 perusahaan energi kehabisan uang, dalam waktu kurang dari 6 bulan sejak merosotnya harga minyak dunia, sementara 1 dari 3 perusahaan energi tengah diambang kebangkrutan dalam waktu kurang dari setahun. Demikian dilansir CNBC, Minggu (31/1/2016).

Menurut perhitungan Big Crunch, secara keseluruhan aset perusahaan energi mencapai US$ 284 miliar, namun lebih dari 80% aset tersebut hanya dimiliki oleh 25 perusahaan energi besar saja.

Arus kas mereka cenderung positif. Perusahaan yang masih mencatatkan kas negatif, setidaknya masih akan bisa bertahan dalam 2 tahun ke depan. Namun, perusahaan-perusahaan energi skala kecil, yang namanya tidak dikenal seperti ExxonMobil, BP atau Chevron, mereka tidak beruntung.

Menurut Kantor Firma Haynes dan Boones, puluhan perusahaan energi skala kecil sudah mengajukan kebangkrutan pada bulan Desember 2015, karena punya utang hingga US$ 13 miliar.

Banyak lagi yang akan menyusul kebangkrutan tersebut di tahun depan lantaran harga minyak dunia yang terus merosot.

Selain itu, sepertiga dari perusahaan minyak dan gas AS diambang kebangkrutan sejauh harga minyak tidak segera pulih.

Inilah gambaran secara keseluruhan perusahaan-perusahaan energi di dunia, termasuk kinerja saham-saham perusahaan energi.

Arus kinerja mereka belum menunjukkan arus kas yang positif dan kurang dari setahun, mencatatkan rapor merah.

Perusahaan energi skala besar seperti Chevron, ConocoPhillips, dan perusahaan multinasional minyak dan gas Italia, Eni, bahkan mencatatkan arus kas negatif. Mereka menderita kerugian besar.

Chevron membukukan kerugian 31 sen per saham pada perdagangan Jumat (29/1/2016), kerugian kuartalan pertama paling dalam sejak 13 tahun terakhir, imbasnya, belanja modal dipangkas secara besar-besaran. Pembagian dividen juga dikesampingkan.

Di samping itu, perusahaan-perusahaan energi skala kecil menjadi yang paling berisiko menghadapi penurunan harga minyak dunia. Beberapa perusahaan sudah mulai mengambil tindakan dalam menghadapi penurunan arus kas mereka. Perusahaan-perusahaan ini mencoba memangkas margin dan menekan biaya operasional perusahaan agar mampu bertahan di tengah pelemahan harga minyak.

Continental Resources, produsen minyak terbesar kedua di Dakota Utara mengumumkan, pekan ini mereka akan memotong anggaran 2016 sebesar 66% dalam upaya untuk menjaga arus kas mereka. Mereka memperkirakan, harga minyak dunia akan berada di kisaran US$ 37 per barel.

Menambah kesuraman, Hess dan Noble Energy juga telah mengumumkan pemotongan anggaran, awal bulan ini. Lembaga pemeringkat kredit Moody’s menyebutkan, ada 120 perusahaan energi yang akan ditinjau untuk diturunkan peringkat (downgrade) utangnya.

“Harga minyak yang lebih rendah akan melemahkan arus kas perusahaan minyak dan gas secara terintegrasi. Hal ini akan menyebabkan tekanan lebih jauh terhadap rasio keuangan mereka, arus kas bisa menjadi lebih negatif,” sebut Moody’s.

(drk/drk)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*