Soal perkiraan nilai rupiah, BI tak mau disalahkan

JAKARTA. Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dolfie Othniel Fredric Palit, mempertanyakan melesetnya asumsi nilai tukar rupiah yang direkomendasikan Bank Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Padahal menurutnya, prediksi yang direkomendasikan oleh bank sentral kepada Badan Anggaran DPR selaku stakeholder penentu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), selalu meleset.

“Sekarang meleset 11%. Ini paling tinggi melesetnya. Tahun lalu di bawah itu. Tahun 2012 melesetnya hanya 6%. Bagaimana pertanggungjawaban BI?,” tanya Dolfie dalam uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test Deputi Gubernur BI di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/6).

Dolfie menyatakan bahwa melesetnya prediksi nilai tukar mata uang garuda yang dimasukkan pada asumsi APBN dan APBN-Perubahan turut menjadi faktor defisitnya neraca transaksi pembayaran Indonesia.

“Jadi asumsi nilai tukar rupiah yang diperkirakan BI di Rp 11.600-Rp 11.800, tidak tercapai. Saat ini fiskal yang nilai tukar paling lemah setelah reformasi,” ujar Dolfie.

Atas tudingan tersebut, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara membantah bahwa hal itu semata-mata merupakan tanggung jawab bank sentral. Menurut Mirza, melesetnya asumsi nilai tukar rupiah tidak bisa menjadi tanggung jawab BI sepenuhnya.

Melesetnya pergerakan nilai tukar mata uang garuda itu harus dilihat berdasarkan faktor kepemerintahan, terutama mengenai pengendalian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menurutnya lebih mendasar.

“Meleset itu sebenarnya lebih karena banyaknya impor BBM. Impor BBM Indonesia dilakukan dalam mata uang dolar. Sebenarnya masalahnya adalah harus membenahi impor BBM ini,” kata Mirza.

Selama ini, lanjut Mirza, Bank Indonesia hanya berkonsentrasi untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini dilakukan agar tidak terlalu merugikan para pengusaha terutama pengusaha ekspor dan impor.

“Kurs yang BI jaga itu kurs yang stabil. Tapi kembali saya katakan, pasar keuangan Indonesia belum dalam. Yang transaksi hanya kecil sekali dibanding negara tetangga. Sehingga saat ada gejolak dampaknya besar. Ini juga terjadi di negara berkembang lainnya,” kata Mirza.

Pemerintah dalam menentukan APBN setiap tahunnya selalu meminta Bank Indonesia memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah. Hal ini dikarenakan dalam setiap pendanaan proyek yang akan melibatkan dana APBN nantinya nilai tukar tersebut akan menjadi acuan pemerintah.

Editor: Hendra Gunawan


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*