Saatnya meracik ulang portofolio

JAKARTA. Ketidakpastian di pasar modal mulai berkurang setelah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Lantas, seperti apa racikan portofolio investasi yang tepat dalam kondisi saat ini? 

Kenaikan suku bunga AS berpotensi membuat indeks dollar Amerika Serikat semakin tangguh. Wajar jika perencana keuangan Eko Endarto menyarankan, investor yang memiliki kebutuhan jangka pendek dalam valuta asing (valas) untuk memarkirkan dana sekitar 20%-25% dalam deposito valas. 

Sedangkan bagi investor yang tidak memiliki kebutuhan jangka pendek dalam valas bisa menyesuaikan dengan profil risiko, yakni konservatif, moderat dan agresif. 

“Investor agresif bisa menaruh 70% pada reksadana saham atau efek saham,” tutur Eko. 

Risza Bambang, perencana keuangan One Shildt Financial Planning, berpendapat, sebaiknya investor menyesuaikan portofolio investasi dalam lima aspek. Mulai dari profil risiko, horizon investasi, jenis kebutuhan, jenis instrumen investasi, serta situasi investor saat ini. 

Kendati begitu, pasca suku bunga acuan The Fed naik, Risza bilang instrumen properti juga bisa menjadi unggulan. Begitu pula dengan instrumen investasi yang terkait dengan infrastruktur. 

“Secara hitung-hitungan kasar, return on investment kedua sektor ini lebih tinggi ketimbang kenaikan suku bunga The Fed,” ungkap Risza. 

Jika investor ingin memarkirkan dana pada efek saham, Risza menyarankan untuk masuk ke saham sektor properti, infrastruktur dan keuangan semisal perbankan. 

Sebab, ketiga sektor tersebut sedang diuntungkan dengan adanya program pembangunan sejuta rumah dan infrastruktur pemerintahan. 

Bagi investor yang memiliki kelebihan dana serta berhorizon investasi jangka panjang, Risza menyarankan untuk membeli emas. 
Sebab, harga emas dunia sedang turun. Namun di waktu mendatang, pamor emas bakal bersinar. 

Instrumen Berisiko 

Sementara itu, Ketua Tim Pengelola Investasi BNI Asset Management Hanif Mantiq menilai, sekarang merupakan momentum yang tepat untuk masuk ke instrumen yang lebih berisiko, semisal efek saham dan surat utang. 

Alasannya, umumnya bursa saham dan obligasi negara-negara berkembang akan melaju lebih kencang ketimbang pasar AS. 

Tentu saja, racikan portofolio investasinya harus disesuaikan dengan profil risiko masing-masing investor, yakni konservatif, moderat atau agresif. “Investor agresif boleh mengalokasikan 100% dana ke efek saham. Mau masuk obligasi boleh, pilih yang tenor panjang,” jelasnya. 

Sektor saham dan obligasi perbankan menjadi pilihan paling menarik. Faktor pendorongnya adalah peluang Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan. Sehingga, industri perbankan diprediksi bakal memacu kreditnya. 

Sektor lain yang menarik di antaranya adalah barang konsumsi, properti, semen dan konstruksi. “Hindari sektor komoditas,” ujar Hanif. 

Maklum saja, saat ini sektor komoditas masih belum lepas dari balutan tren bearish, karena harga komoditas yang terus melemah. 

Bagi investor dengan horizon investasi jangka panjang, minimal 10 tahun, bisa mengoleksi emas yang harganya sedang murah. 

Investor yang memiliki dana lebih juga bisa membeli tanah, mendirikan bangunan, lalu menjualnya lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi di masa depan. 

Hans Kwee, Vice President Investment Quant Kapital Investama, melihat pasar saham berpotensi menguat hingga awal tahun depan. “Oleh karena itu, mulai saat ini investor bisa mulai melakukan akumulasi saham,” ujar Hans. 

Menurutnya, sektor saham yang berprospek bagus di masa depan adalah konstruksi, perbankan, properti dan barang konsumsi. 


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*