Saat mulai masuk ke instrumen berisiko

JAKARTA. Akhirnya Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan 15 Desember 2015 – 16 Desember 2015. Analis menyarankan investor untuk mulai masuk ke instrumen yang lebih berisiko.

Senior Fund Manager PT BNI Asset Management Hanif Mantiq menyarankan investor bahwa sekarang merupakan momen tepat untuk menilik instrumen yang lebih berisiko, semisal efek saham dan surat utang.

Sebab, umumnya bursa saham dan obligasi negara-negara berkembang akan melaju lebih kencang ketimbang pasar AS pasca The Fed mengerek suku bunga acuan.

Bagi investor dengan profil risiko konservatif, Hanif menyarankan untuk memarkirkan 80% dana pada efek obligasi korporasi dengan tenor pendek, sekitar 1 tahun – 3 tahun. Sisanya, 20% berupa deposito.

Untuk investor dengan karakter moderat bisa mengalokasikan 50% dana pada obligasi korporasi jangka panjang atau Surat Utang Negara (SUN) bertenor menengah, sekitar 5 tahun – 10 tahun. Sisanya 50% bisa ditempatkan pada efek saham.

“Investor yang risk taker atau agresif boleh mengalokasikan 100% dana ke efek saham. Mau masuk obligasi boleh, pilih yang tenor panjang,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hanif berpendapat sektor saham dan obligasi perbankan menjadi pilihan paling menarik. Faktor pendorongnya, ada peluang bagi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga acuan. Sehingga, industri perbankan diduga bakal memacu kreditnya. Prospek pertumbuhan sektor keuangan ini menjadi berkilau.

“Sektor konsumer juga boleh, tidak ada matinya. Kalau lebih agresif lagi, pilih sektor properti , semen, dan konstruksi. Hindari sektor komoditas,” terangnya.

Komoditas memang sedang berbalut tren bearish (turun). Sedangkan sektor properti, semen, dan konstruksi ditopang oleh program pembangunan infrastruktur dan perumahan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*