Rupiah Terus Melemah, Ekonom: Pemerintah Terjebak di Lubang yang Sama

Jakarta -Detik-detik menjelang pengumuman suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin merosot mencapai level Rp 14.400.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, pengaruh global memang sangat kuat terhadap gejolak ekonomi Indonesia.

Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang bersifat jangka pendek untuk menekan gejolak perekonomian global.

“Rupiah itu 90% karena eksternal. Rupiah melemah, pemerintah dari dulu terjebak di lubang yang sama, selalu telat membuat kebijakan, kebijakan kurang nendang, ketika komoditas booming, tidak ada kebijakan, malah diterapkan sekarang, harusnya dulu 4-5 tahun lalu,” jelas dia di acara Kongkow Bisnis Pas FM “Quo Vadis Ekonomi Indonesia”, di Menara Global, Jakarta, Rabu (16/9/2015).

David menjelaskan, tiga paket kebijakan ekonomi Jokowi yang telah dirilis beberapa waktu lalu tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

“Yang saya lihat dari 3 paket kebijakan Jokowi soal deregulasi, properti dan proyek-proyek pemerintah, yang deregulasi itu bukan barang baru, itu sejak zaman Soeharto. Properti juga kebijakan setengah hati,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom INDEF Fadhil Hasan mengungkapkan, pelemahan rupiah cukup menekan dunia usaha.

“Dampak pelemahan rupiah, ke usaha biaya jadi lebih mahal, PHK di dunia usaha. Pengusaha tahu persis di lapangan. Kalau paket kebijakan dimaksudkan memudahkan dunia usaha, harusnya usulan dunia usaha harus diakomodasi sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan dunia usaha,” terang dia.

Menurut Fadhil, yang perlu diperhatikan adalah soal target pajak yang terlalu tinggi. Akhirnya, dunia usaha yang tidak sepatutnya terkena pajak terpaksa menjadi sasaran pajak.

“Terutama usulan pajak, target pajak atau pun kebijakan yang sangat agresif di tengah suasana ekonomi yang lemah, ini inkosistensi. Yang lain juga tentang perizinan di dalam investasi, perlu dipermudah,” sebutnya.

Melihat semua itu, Ekonom Faisal Basri menambahkan, perekonomian Indonesia tahun ini tidak akan tumbuh tinggi hanya 4,7% dan 5,4% di tahun depan.

Untuk bisa mencapai target tersebut, pemerintah perlu mempercepat serapan anggaran terutama di sisi konsumsi masyarakat.

“Pertumbuhan ekonomi 4,7% tahun ini. Tahun depan 5,4%. Efek cepat spending ke masyarakat yang konsumsi tinggi supaya multiplier effect-nya besar,” katanya.

(drk/ang)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*