Rupiah terdepresiasi hingga 2% dalam sepekan

JAKARTA. Nilai rupiah sepanjang pekan ini sudah tergerus signifikan. Spekulasi kenaikan suku bunga membayangi pergerakan rupiah dan membalutnya dalam tren bearish jika berhadapan dengan USD. Diduga pekan depan keadaan pun belum akan berpihak kepada rupiah.

Di pasar spot, Jumat (25/9) nilai tukar rupiah menukik tipis 0,06% ke level Rp 14.693 di hadapan USD dan nilai ini sudah tergerus 2,21% dalam sepekan terakhir. Sejalan, di kurs tengah Bank Indonesia posisi rupiah terkikis 0,45% di level Rp 14.690 dengan penurunan 1,56% dalam sepekan terakhir.

Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Treasury PT Bank BNI Tbk menuturkan depresiasi rupiah yang tajam ini memang mayoritas akibat beban dari faktor eksternal. Pertama, lesunya perekonomian China. Ini ditunjukkan oleh data manufaktur China yang terjun ke level terendahnya sejak 6,5 tahun terakhir.

“Jika data China negatif, itu artinya kepercayaan pelaku pasar pada aset di Asia kian tipis,” papar Trian. Ini jelas tidak menguntungkan posisi rupiah sebagai salah satu aset berisiko di kawasan Asia.

Kedua, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed yang terus membayangi pasar global. Di awal pekan tekanan datang dari pernyataan Gubernur The Fed San Francisco, John Williams lalu disusul oleh Gubernur The Fed Atlanta Dennis Lockhart. Kedua pejabat ini menegaskan peluang kenaikan suku bunga terjaga di akhir tahun 2015.

“Pasar menanti dua pertemuan FOMC pada Oktober dan Desember mendatang untuk mencari kepastian akan hal ini,” kata Trian. Belum reda tekanan dari hal ini, serangan juga datang dari nada hawkish yang dilayangkan Janet Yellen, Gubernur The Fed Jumat (25/9) dini hari.

Melalui pernyataannya Yellen menyampaikan bahwa kenaikan suku bunga The Fed dipastikan akan segera terjadi. Tidak seterusnya pelemahan ekonomi global akan mampu menahan laju The Fed rate naik. “Jelas ini sinyal negatif yang menghantam rupiah,” ujar Trian.

Editor: Yudho Winarto.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*