Nilai emiten minyak turun Rp 18,7 triliun

JAKARTA. Harga minyak makin memburuk. Pada Senin (7/12) pukul 17.55 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Januari 2016 di New York Merchantile Exchange kembali turun 1,43% ke level US$ 39,46 per barel dibandingkan hari sebelumnya.

Harga ini merupakan rekor terendah sejak tahun 2010. Penurunan harga minyak sepanjang tahun ini membuat emiten pertambangan minyak dan gas (migas) semakin terpuruk.

Dari data yang dihimpun oleh KONTAN, nilai pasar alias market cap 10 perusahaan migas yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) turun Rp 18,7 triliun sejak akhir tahun lalu. Harga minyak sudah merosot sejak tiga tahun belakangan.

Tapi, kejatuhan harga minyak semakin memburuk tahun ini. Pada akhir tahun 2014, nilai kapitalisasi pasar 10 emiten minyak mencapai Rp 50,69 triliun. Namun per kemarin, nilai kapitalisasi pasarnya tersisa Rp 32 triliun.

Tentu hal ini mencerminkan penurunan harga saham emiten minyak. Ambil contoh, kapitalisasi pasar PT Elnusa Tbk (ELSA) turun lebih dari separuh, dari Rp 5 triliun menjadi Rp 2 triliun.

Lalu, kapitalisasi pasar emiten migas milik Bakrie Grup, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) turun dari Rp 5 triliun menjadi Rp 2,4 triliun. Kapitalisasi pasar PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) malah hanya tertinggal Rp 3,15 triliun dari sebelumnya Rp 12,6 triliun.

Penurunan harga minyak dipicu oleh pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). OPEC belum memangkas produksi minyak mentah tahun depan. Sentimen ini membuat saham-saham emiten migas sebaiknya dihindari dalam jangka pendek maupun panjang.

Lucky Bayu Purnomo, Analis LBP Enterprises, mengatakan, tahun depan, harga minyak diperkirakan masih tertekan. Pasalnya, permintaan minyak masih rendah. “Perusahaan minyak besar di luar negeri sudah mengalami tekanan signifikan. Ada penurunan permintaan yang berpengaruh dalam jangka panjang,” ujar Lucky.

David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, selama OPEC belum memangkas produksi, harga minyak bisa makin turun. Harga minyak bisa semakin merosot hingga US$ 35 – US$ 30 per barel.

Lain cerita jika terjadi ketegangan di Timur Tengah. “Saat ini harga minyak masih akan mengambang dalam satu hingga dua bulan,” kata David.

Sementara Lucky memprediksi, skenario terburuk harga minyak bisa menguji US$ 35 per barel. Dampak ke emiten Penurunan harga minyak memiliki dampak besar ke emiten migas. Menurut Lucky, yang bakal terkena imbas paling besar adalah Medco.

Pasalnya, Medco memiliki banyak sumur minyak di dalam dan luar negeri. Dengan penurunan permintaan, Medco memiliki beban tambahan dari operasional sumur minyak tersebut. “Kilang minyak Medco termasuk paling banyak dibandingkan emiten lain. Sehingga bisa dipastikan bebannya membengkak,” ujar Lucky.

ELSA diperkirakan bernasib serupa. David menyarankan, menghindari saham-saham migas sampai ada pemulihan harga. Tapi, ada juga emiten sektor minyak yang masih punya prospek bagus. Menurut David, masih ada penguatan saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA).

Perusahaan yang bergerak di bisnis distribusi bahan bakar minyak (BBM) ini tak akan banyak tertekan. AKRA masih bisa mengambil untung dengan menjual BBM non subsidi yang memiliki margin lebih tinggi.

Lucky mengatakan, saham-saham komoditas batubara akan berkinerja lebih baik dibandingkan dengan saham-saham emiten migas di tahun depan.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*