Minyak murah bayangi pasar saham

JAKARTA. Konflik di Timur Tengah, tidak mampu mendongkrak harga minyak. Pertempuran yang memanas, kalah oleh pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

OPEC enggan memangkas produksi minyak mentah hingga tahun depan. Tak pelak, harga minyak di pasar internasional jebol. Akhir pekan lalu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) merosot ke US$ 39,97 per barel, posisi terburuk harga minyak mentah minimal dalam lima tahun terakhir.

Pasar saham adalah yang pertama kali terkena imbas dari merosotnya harga minyak. Kemarin (6/12), pasar saham di Timur Tengah tergelincir. Indeks saham Dubai terpangkas 1,4%. Harga saham Dubai Islamic Bank anjlok 4,7% dan saham Amlak Finance merosot hingga 3,5%.

Indeks bursa saham Abu Dhabi juga terpeleset 1,1%. Sementara indeks bursa Qatar dan Kuwait masing-masing menyusut 0,2%.

Dan naga-naganya, kondisi serupa bakal terjadi di bursa domestik. Saham emiten yang bergerak di sektor komoditas, khususnya minyak, gas, batubara, logam dan metal diprediksi bakal tertekan.

Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, melihat, penurunan harga minyak berpotensi menekan saham komoditas. “Saham-saham komoditas tidak bagus. Batubara dan logam akan turun, dollar AS juga menguat. Saham-saham logam juga tidak bagus,” jelas Satrio kepada KONTAN, kemarin.

Apalagi, koreksi harga minyak mentah di pasar dunia tidak diikuti dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh PT Pertamina. Sebab, Pertamina menyesuaikan harga setiap enam bulan sekali.

Akibat lambannya Pertamina menyesuaikan harga BBM dengan harga minyak mentah, emiten saham tak bisa segera menikmati efek positif penurunan harga minyak itu. “Idealnya harga BBM bisa segera turun,” tutur Satrio.

Kepala Riset BNI Securities, Norico Gaman menilai, penurunan harga minyak sejalan dengan koreksi di sektor komoditas lain. Menurut dia, emiten yang berbasis komoditas akan terdampak, setidaknya sampai tahun 2017. “Saya berpikir, dampaknya akan sampai dua tahun ke depan. Harga minyak WTI, mungkin kalau tumbuh hanya di rentang US$ 52-US$ 53. Padahal idealnya US$ 80-US$ 90 per barel,” proyeksi Norico.

Kendati demikian dia berpendapat penurunan harga minyak tak signifikan mengganggu kinerja pasar saham Indonesia. Sebab, emiten di sektor komoditas tak lagi memiliki bobot besar terhadap IHSG (lihat infografis).

Norico memprediksikan, IHSG pada akhir tahun di level 5.000, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,7%-4,8%. Prediksi ini bisa berubah, seiring dengan kebijakan Bank Sentral Amerika, The Fed, pada pertengahan bulan ini. Spekulasi The Fed mengerek bunga acuan semakin menguat.        


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*