Migas, Arena Kepentingan Politik Tingkat Tinggi

TEMPO.CO, Jakarta – Konspirasi politik juga terjadi di tingkat internasional.

Kepentingan politik yang mewarnai sektor migas di tanah air membuat kebijakan energi kehilangan esensi dasarnya sebagai sarana mewujudkan kemakmuran rakyat seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945.

“Sebesar 80 persen dari tata kelola migas merupakan bermuatan politis, sementara 20 persen lainnya soal teknis,” ungkap mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono, dalam diskusi buku “Migas, The Untold Story“, yang diselenggarakan Fakultas Komunikasi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Rabu, 25 Februari 2015.

Menurut Priyono, kepentingan politik itu pula yang bermain di balik pembubaran BP Migas melalui keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 lalu. Ia menyangkal tudingan bahwa BP Migas pro kepentingan asing. Justru pada tahun 2011 lembaga McKinsey justru menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 dunia dalam hal nasionalisme sektor migas (resource nationalism). “Nasionalisme migas sangat dibenci oleh raksasa minyak global karena mempersulit bisnis mereka.”

Ekonom Universitas Katolik Atmajaya, Antonius Prasetyantoko, yang juga tampil sebagai pembicara, mengungkapkan bahwa politik migas merupakan politik tingkat tinggi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. “Perang dingin antara blok Saudi dan blok Amerika dalam memainkan harga minyak dunia adalah bukti bahwa sektor migas tidak murni diatur pasar.”

Prasetyantoko menjelaskan, OPEC enggan menurunkan produksinya dengan tujuan harga minyak tetap rendah. Dengan harga US$ 45 per barel, mereka masih untung karena biaya produksi rata-rata US$ 10-15 per barel. Sebaliknya, turunnya harga minyak akan memukul musuh-musuh AS seperti Rusia atau Venezuela yang ekonominya ditopang ekspor migas.

Di saat yang sama, AS terus menumpuk cadangan minyaknya dengan harapan produk mereka bisa dijual dengan harga tinggi apabila suatu saat tekanan global dan embargo terhadap Rusia meningkat. “Indonesia tidak terlepas dari konstelasi global. Permainan harga akan menciptakan mafia migas,” ujar dia.

Penasihat Ahli Kepala SKK Migas, Haposan Napitupulu, menjelaskan struktur migas Indonesia belum siap mengantisipasi perubahan peta politik global. Cadangan minyak Indonesia hanya bertahan 11 tahun mendatang. Indonesia juga satu-satunya negara di Asia yang tidak memiliki cadangan minyak siap pakai. “Ini sangat berbahaya ketika suatu saat permintaan melonjak dan harga minyak mulai naik.”

Hal ini sangat ironis karena negara-negara yang tidak punya sumber minyak seperti Korea, Jepang dan Singapura justru memiliki cadangan minyak di kilangnya masing-masing. Karena itu ia berharap ke depannya peran minyak bumi segera digantikan oleh gas alam.

M. AZHAR


Distribusi: Tempo.co News Site

Speak Your Mind

*

*