Harga minyak sulit bangkit

JAKARTA. Harga minyak sudah menyentuh level US$ 46,35 per barel yang merupakan level terendah sejak tujuh tahun lalu. Selama bulan Juli 2015, harga minyak merosot 21%.

Nizar Hilmy, Analis SoeGee Futures mengatakan, harga minyak hingga pekan lalu sudah jatuh selama lima minggu berturut-turut. “Harga minyak mencatat penurunan bulanan terbesar ejak tahun 2008,” ujarnya.

Turunnya harga minyak disebabkan oleh dua hal, yakni pasokan yang berlimpah dan penurunan permintaan. Nizar mengatakan, Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), terutama Arab Saudi terus menggenjot produksi hingga melebihi pasokan.

Di saat pasokan berlimpah, Iran juga berencana menambah produksinya setelah sanksi negara tersebut dicabut. Seminggu pertama setelah sanksi dicabut, Iran akan mengekspor minyak sebanyak 500.000 barel per hari, dan sebulan setelahnya akan menaikkan ekspor menjadi 1 juta barel per hari.

Di saat yang sama, negara non OPEC seperti Amerika Serikat (AS) juga enggan mengerem produksi. Para produsen minyak di negeri Paman Sam terus meningkatkan pengeboran meski cadangan minyak berlimpah.

Sementara itu, lesunya ekonomi China sebagai salah satu konsumen minyak terbesar dunia menyebabkan permintaan minyak melemah. Berdasarkan data yang dirilis Senin (3/8), Manufaktur PMI China turun menjadi 47,8 dari sebelumnya 48,2.

Padahal produksi sektor manufaktur banyak menggunakan bahan bakar minyak. Penurunan data tersebut menegaskan bahwa permintaan minyak dari China masih mengalami penurunan. “Permintaan dari Eropa juga turun karena ekonomi lesu,” imbuh Nizar.

Dalam jangka menengah, harga minyak masih dalam tren melemah. Harga minyak dapat membaik jika permintaan meningkat. Sementara naiknya permintaan ditentukan oleh kondisi fundamental negara – negara pengimpor minyak. Namun, perubahan fundamental suatu negara membutuhkan waktu.

Editor: Yudho Winarto


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*