Dollar AS meroket, renminbi bisa jadi alternatif

JAKARTA. Pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat makin mengkhawatirkan. Berdasar kurs tengah Bank Indonesia, kurs rupiah hari ini Rp 13.237 per dollar AS. Nilai ini lebih rendah  0,34% atau 46 poin dibandingkan Jumat (13/3) yang berada pada posisi Rp 13.191 per dollar AS.

Jiuka dihitung sejak awal tahun ini hingga akhir pekan lalu,  rupiah beradasr kurs tengah BI sudah anjlok 5,75%.  Sebuah pelemahan yang cukup besar, apa lagi ada berbagai faktor yang membuat rupiah berpotensi terus jatuh lebih dalam.

Melihat  depresiasi rupiah ini, sebaiknya Indonesia menggunakan mata uang alternatif, seperti renminbi, misalnya.

Ketua Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Hartadi A. Sarwono mengungkapkan, perbedaan arah kebijakan moneter dunia mengakibatkan penguatan nilai tukar dollar AS secara global.  

Kondisi saat ini bisa disebut “the era of strong dollar” di mana terjadi pelemahan mata uang utama dunia. Di antaranya, yen Jepang, dollar Singapura, dan yuan – China. Tak terkecuali,mata uang RI, rupiah juga ikut melema.

Di tengah kondisi  global seperti ini, mata uang China bisa jadi alternatif buat Indonesia. Benar, pertumbuhan ekonomi negeri  Tiongkok memasuki ‘new era normal growth‘ di kisaran 7%. PDB China 2015 diperkirakan turun ke 6,9% -7% setelah pada 2014 tercatat 7,4%.

Penurunan pertumbuhan ekonomi China terjadi pada investasi dan ekspor-impor. Hal ini tecermin dari penurunan penjualan ritel dan indeks belanja perusahaan (purchasing managers indeks).

Meski begitu, Tiongkok memiliki strategi rebalancing menuju ‘new era normal growth

“Target pertumbuhan ekonomi 2015 diturunkan oleh pemerintah Tiongkok menjadi 7% sejalan dengan rebalancing menuju new normal growth. Otoritas Tiongkok mengamankan momentum peralihan dari investasi dan produksi ke konsumsi secara terukur dan bertahap,”   ujar Hartadi di Jakarta, Senin (16/3).

Meski tak sespektakuler sebelumnya, tahun ini ekonomi China tetap tumbuh cukup tinggi. Salah satunya karena permintaan luar negeri masih mampu mendorong pertumbuhan ekspor dan surplus neraca perdagangan China.

Pemerintah negara Tembok Besar ini juga mengendalikan penurunan inflasi, consumer price index (CPI) dan production price index (PPI).

Deputy Head, Strategic Management and Transformation Office PT Bank Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) Indonesia, Surya Wijaya, mengungkapkan, investasi asal China di sektor riil (foreign direct investment/ FDI) di Indonesia telah tumbuh jauh di atas negara-negara lain.

Sepanjang 2014, FDI China di Indonesia mencapai US$ 800 juta. Angka ini meningkat signifikan, 169% dibandingkan FDI China di Indonesia sepanjang 2013 yang sebesar US$ 297 juta. Secara rata-rata FDI China di Indonesia tumbuh 84% jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Singapura, Amerika Serikat, Korea Selatan dan juga Belanda. 

China memang mitra dagang terbesar Indonesia di tahun 2013 dan 2014. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), volume perdagangan ekspor-impor antara China dan Indonesia per tahun 2014 mencapai US$ 48 miliar.  Jumlah ini mencapai 10% dari keseluruhan volume ekspor-impor Indonesia di tahun lalu. 

Namun, kata Surya, yang menjadi kendala adalah 90% transaksi ekspor impor Indonesia dengan China masih menggunakan dollar AS. Hal ini membuat ketergantungan terhadap dollar AS menjadi semakin tinggi.

Karena itu, Indonesia membutuhkan mata uang alternatif untuk nilai tukar.  Renmimbi bisa menjadi alternatif. Menurut Surya, terdapat tiga keuntungan menggunakan renminbi sebagai mata uang alternatif.

Pertama, dari segi pemerintah. Pemerintah diuntungkan dengan penggunaan renminbi sebagai mata uang alternatif  karena tak lagi terlalu bergantung pada dollar AS. 

“Kalau Indonesia punya second currency, maka bisa dijadikan reserve dan bisa membuat fluktuasi serta current account lebih stabil,” ucap Surya. 

Kedua, dari sisi penguasaha ekspor –impor. Di China sudah lebih banyak yang menerima mata uang renminbi untuk transaksi ekspor-impor. Jadi, Indonesia bisa mengekspor lebih banyak ke China tanpa harus terlebih dahulu mengubahnya ke dalam dollar AS.  

“Untuk segi impor juga lebih murah, karena membayar dengan renminbi bisa mendapatkan penghematan sebesar 2%-3%,” imbuh Surya. 

Ketiga, dari sisi investor. Penggunaan renmimbi akan menguntungkan investor yang memikirkan capital gain, yield dan dividen, selain memikirkan stabilitas. Kata Surya, capital gain renminbi sepanjang 4 tahun sampai 5 tahun belakangan jauh lebih besar dibandingkan dengan dollar AS. Selain itu, renminbi juga lebih stabil ketimbang dollar AS. 

Surya tidak menampik, dengan rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed Fund Rate di AS, nilai tukar renminbi juga akan melemah terhadap dollar AS tahun ini. Namun, pelemahan renminbi tidak akan berlangsung lama. Ia bilang, tahun 2016 mendatang, renminbi kembali akan meneruskan tren penguatannya. 

“Ini karena di China sendiri perlahan-lahan sudah mengurangi reserve dollar AS karena transaksi perdagangan lebih banyak menggunakan renminbi. Ke depannya, setelah renminbi menjadi reserve currency, exchange rate-nya juga akan semakin kuat. Itu keuntungannya,” jelas Surya.

Oleh karena itu, ICBC Indonesia akan menggenjot penyaluran kredit valas dalam denominasi renminbi. Hal ini diharapkan dapat mendorong penggunaan renminbi guna mengurangi tekanan terhadap dollar AS.

Kredit valas di ICBC Indonesia mencapai lebih dari 50%. Dari penyaluran tersebut, sebanyak 95% trade finance ICBC Indonesia masih menggunakan dollar AS. 

“ICBC Indonesia sudah menyalurkan kredit denominasi renminbi, tapi masih kecil. Tapi perkembangan dan pertumbuhannya di tahun-tahun mendatang sangat menjanjikan. Ekspektasi kami bisa meningkat berkali-kali lipat,” ujarnya.

Editor: Mesti Sinaga


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*