Cina & Amerika Beraksi, Indonesia Korban Perang Mata Uang?

Rabu, 26 Agustus 2015 | 06:24 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Negara-negara non-industri atau negara yang berorientasi ekonomi komoditas menjadi korban utama dalam perlambatan perekonomian dunia saat ini. Kondisi tersebut berujung pada pelemahan nilai tukar. Penyebabnya tak lain bersumber dari harga jual komoditas yang terus turun, terutama harga minyak.

“Nilai tukar negara komoditas kolaps dan semakin kencang selama sepekan terakhir karena terus turunnya harga komoditas,” ujar kolumnis Oilprice.com, Nick Cunningham, seperti dilansir dari Time, Selasa, 25 Agustus 2015.

Menurut Cunningham, meningkatnya akselerasi penurunan nilai tukar terjadi karena harga minyak yang anjlok di bawah US$ 50 per barel pekan lalu.

Cunningham merujuk pada Brazil, Nigeria, Turki, Meksiko, dan tak terkecuali Indonesia, yang harus menerima nilai tukar mata uangnya merosot melebihi rekor terendah yang pernah dialami. Lira Turki sudah terdepresiasi 19 persen sepanjang tahun ini. Sedangkan nilai tukar peso Meksiko sudah jatuh lebih dari 25 persen sejak Agustus tahun lalu.

Di dalam negeri, nilai tukar rupiah juga terus terpuruk dan sudah menyentuh di atas level 14 ribu per dolar Amerika Serikat.

Kurs rupiah pada perdagangan Selasa, 25 Agustus 2015, masih terkoreksi 4,6 poin (0,03 persen) pada level 14.054,1 per dolar AS. Rupiah bahkan tak sempat menyentuh area positif sepanjang perdagangan kemarin.

“Kesehatan perekonomian negara komoditas memang sangat bergantung pada harga komoditas itu sendiri,” kata Cunningham.

Imunitas perekonomian negara komoditas semakin rentan terhadap isu perekonomian global. Belum selesai sentimen normalisasi suku bunga Amerika Serikat, tamparan semakin menjadi-jadi karena Cina dengan sengaja mendevaluasikan mata uangnya, yuan.

Akibatnya, situasi mata uang seluruh dunia penuh ketidakpastian dan cenderung ke arah perang mata uang (currency war). Sebagian negara merasa perlu untuk menurunkan, namun sebagian lain menganggap depresiasi mata uang justru berbahaya untuk ke depannya.

“Sejauh ini, kami belum memiliki dorongan diperlukannya langkah moneter antisipatif,” ujar seorang juru bicara bank sentral Nigeria. Menurut dia, dominasi uang asing di Nigeria semakin menjadi-jadi. Para spekulan mulai meninggalkan Naira karena khawatir bank sentral Nigeria turut mendevaluasi mata uangnya.

TIME | OILPRICE | ANDI RUSLI


Distribusi: Tempo.co News Site

Speak Your Mind

*

*