Kurva Philips

Kurva Philips ialah kurva yang memperlihatkan afiliasi antara jenjang ketunakaryaan dengan jenjang inflasi di sebuah negara. Menurut Kurva Philips, afiliasi keduanya ialah berbanding negatif. Jadi ketika inflasi naik, maka ketunakaryaan turun. Dan ketika inflasi turun, maka ketunakaryaan naik jumlahnya. Kedua poin dalam makroekonomi ini menjadi pilihan yang begitu rumit.

Kita ingin memperkecil inflasi, namun di saat yang sama hal itu akan mencetuskan jumlah ketunakaryaan bertambah. Kita ingin mengurangi ketunakaryaan, namun di saat yang sama hal itu akan mencetuskan inflasi menjadi tinggi.

Tiap negara punya prioritasnya masing-masing (sebab pola kurva phillips tiap negara juga berbeda-beda), meskipun kedua hal ini (inflasi maupun ketunakaryaan) sama-sama penting. Mau contoh?

Indonesia: Inflation Targetting
Indonesia. Ya, negara kita ini condong memilih mengatur inflasi ketimbang ketunakaryaan. That’s why setiap tahunnya pemerintah kita lebih gencar mengumumkan target inflasi tahun depan. Dan di akhir fase pula, kesuksesan perekonomian selalu diukur dengan tercapainya target inflasi atau tidak. Belum pernah saya mendengar keributan pemerintah kita mengumumkan target pengurangan jenjang ketunakaryaan di awal tahun dan mengumumkan realisasinya di akhir tahun (meskipun laporan statistikanya memang ada). Mungkin ketunakaryaan hanya sekedar data statistika yang urgensinya masih kalah jauh ketimbang inflasi.

Inflasi yang terjadi merupakan salah satu gelora perekonomian ialah hal yang dipreferensikan pemerintah sebab dampaknya langsung dirasa oleh masyarakat. Seperti itu yang sering kita dengar dan kita baca di berbagai media. Iya benar. Hal itu memang benar. Ketika inflasi tinggi, maka harga-harga barang yang tinggi akan mencetuskan masyakat kita semakin tercekik dengan sulitnya memenuhi berbagai kebutuhan pokoknya. Singkatnya, inflasi dirasakan dalam jarak pendek dan memiliki efek langsung (direct effect).

Lalu, bagaimana dengan ketunakaryaan? ketunakaryaan seringkali tidak menjadi preferensi khusus sebab efek ketunakaryaan tidaklah dirasakan langsung oleh masyarakat (indirect effect). Dampak yang ditimbulkan dari banyaknya ketunakaryaan pun tidak dirasakan dalam jarak pendek, melainkan dalam jarak panjang. Walaupun demikian, jangan dianggap dampak dari melubernya ketunakaryaan tidaklah dahsyat.
Islandia: Unemployment Targetting
Dari apa yang saya baca di buku The Geography of Bliss, saya mendapati kejutan bahwa Islandia, negara yang langitnya selalu hitam kelam di musim dingin, ternyata lebih memilih mempreferensikan mengurangi jumlah ketunakaryaan ketimbang inflasi. Maka jangan bingung dengan harga-harga yang mahal di Islandia.

Menilik dari apa yang ditulis oleh Eric Weiner, bagi mereka (warga Islandia), inflasi membuat getilan kolektif. getilan itu dirasakan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Sedangkan ketunakaryaan ialah getilan selektif. getilan yang hanya dirasakan oleh orang tertentu saja. Bagi mereka itu ialah sebuah ketidakadilan. Maka jangan bingung, di Islandia, jika jenjang ketunakaryaan mencapai 5%, itu dianggap skandal nasional dan presiden harus diturunkan.

Bagaimana dengan Indonesia? Apa jadinya ketika target pengangguran dijadikan petunjuk untuk menghitung kesuksesan pemerintah mengendalikan perekonomian setiap tahunnya? Mungkin nggak ada yang mau jadi presiden karena jumlah rakyat Indonesia ada ratusan juta (yang berarti bila ada 5% jumlah ketunakaryaan, itu sudah termasuk dalam kategori sangat banyak).

Dasar Teori Kurva Phillips
Tujuan khusus dari kebijakan ekonomi makro ialah untuk menyelesaikan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan untuk menyelesaikan masalah ketunakaryaan. Jadi kebijakan ekonomi makro harus dapat mencapai sasarannya, yaitu menciptakan stabilitas harga dan dalam waktu bersamaan menciptakan kesempatan kerja.
Jika dilihat di pasar ketenagakerjaan, penurunan dari level upah akan mencetuskan meningkatkan ketunakaryaan karena adanya kelebihan penawaran ketenagakerjaan. Sebaliknya, jenjang upah akan naik jika terjadi kelebihan permintaan ketenagakerjaan atau jumlah ketunakaryaan meningkat dan jumlah pencarian kerja bertambah, maka jenjang upah akan turun. Demikian pula ketenagakerjaan akan meningkat.
Kurva Phillips menggambarkan ciri perafiliasi diantara jenjang kenaikan upah dengan jenjang ketunakaryaan, atau di antara jenjang harga dengan jenjang ketunakaryaan. Nama kurva tersebut diambil dari orang yang mula-mula sekali membuat studi dalam aspek tersebut. Dalam tahun 1958 A.W. Phillips, yang pada waktu itu menjadi Profesor di London School of Economics, menghasilkan satu studi mengenai ciri-ciri alterasi jenjang upah di Inggris. Studi tersebut meneliti sifat afiliasi diantara jenjang ketunakaryaan dan kenaikan jenjang upah. Kesimpulan dari studi tersebut ialah : terdapat suatu sifat afiliasi yang negatif (berbalikan) diantara kenaikan jenjang upah dengan jenjang ketunakaryaan. Pada ketika jenjang ketunakaryaan tinggi, persentasi kenaikan jenjang upah ialah rendah dan apabila jenjang ketunakaryaan rendah, persentasi kenaikan jenjang upah ialah tinggi.
Pasar ketenagakerjaan dilandasi atas dua asumsi sebagai berikut :
a) Penawaran dan permintaan ketenagakerjaan akan menentukan jenjang upah.
b) alterasi jenjang upah ditentukan oleh besarnya kelebihan permintaan ketenagakerjaan yang disebut Excess Demand.
Kurva Phillips jarak Panjang
Pada awal pengamatan kurva Phillips dijelaskan bahwa terdapat trade off antara inflasi dan ketunakaryaan, yaitu kenaikan jenjang inflasi akan diikuti dengan penurunan jenjang ketunakaryaan. Namun kenyataannya di AS selama fase tertentu memperlihatkan bahwa kenaikan jenjang inflasi diikuti oleh kenaikan jenjang ketunakaryaan. Jadi berarti tidak terdapat trade off .
perpindahan kurva Phillips pertama kali terjadi pada awal tahun 1976 dan kemudian terjadi lagi pada fase tahun 1973-1975 sebagian dampak embargo minyak Arab terhadap Negara-negara industri yang berpihak pada Israel dalam perang Timur Tengah. Banyak industri mengalami kejatuhan karena dilanda resesi ekonomi dunia yang sangat parah. perpindahan kurva Phillips berakhir pada fase tahunan 1979-1982. selama kurun waktu tersebut terjadi kenaikan ketunakaryaan dengan bentuk perpindahan kurva Phillips yang berbeda-beda.
perpindahan Kurva Phillips dapat dijelaskan melalui beberapa tahapan berikut ;
Pada fase awal, ketunakaryaan berada pada jenjang stabil, tidak terdapat permintaan atau penawaran yang mencolok, selanjutnya pada
periode kedua peningkatan yang cepat pada hasil selama ekspansi ekonomi memperkecil jenjang ketunakaryaan. Seiring menurunnya ketunakaryaan, perusahaan condong merekrut pekerja lebih banyak lagi, memberikan peningkatan upah yang lebih besar dari biasanya. Saat hasil melebihi kekuatannya, peralatan kapasitas meningkat dan penggelembungan dana meningkat, upah dan harga mulai naik.
Pada fase ketiga, dengan naiknya inflasi maka perusahaan dan pekerja akan mengharapkan inflasi yang lebih tinggi. keinginan inflasi yang lebih tinggi tampak dalam keputusan upah dan harga. jenjang ekspektasi inflasi lalu meningkat. jenjang ekspektasi inflasi meningkat diatas kurva phillip awal yang menunjukkan jenjang ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.

NAIRU dan gelora Inflasi
Kurva Phillips memperlihatkan afiliasi antara inflasi dengan ketunakaryaan. Dalam jangka pendek, penurunan satu jenjang berarti menaikkan yang lainnya. Tetapi kurva Phillips jarak pendek condong bergeser terus selama inflasi yang diharapkan dan faktor lainnya berubah. Apabila pembuat kebijakan bermaksud menjaga ketunakaryaan di bawah NAIRU – the nonaccelerating inflation rate of unemployment – , inflasi akan condong naik.
Teori inflasi modern berpijak pada sketsa NAIRU, yaitu jenjang ketunakaryaan terendah yang dapat dinikmati tanpa resiko kenaikan inflasi. Hal ini mewakili jenjang ketunakaryaan dari sumber daya dimana pekerja dan produk pasar berada dalam keseimbangan inflasi. Berdasarkan teori NAIRU, tidak ada pertukaran permanen antara ketunakaryaan dan inflasi, dan kurva Phillips jarak panjang ialah vertikal.

 

(yn)

Speak Your Mind

*

*