Utang Luar Negeri Indonesia Meningkat, Masih Amankah?

Utang luar negeri Indonesia terpantau terus bertumbuh. Berdasarkan data Bank Indonesia terkini maka terlihat utang luar negeri pada akhir kuartal III/2016 tercatat sebesar US$325,3 miliar (sekitar Rp 4.390 triliun) atau tumbuh 7,8% (year-on-year). Pada kuartal II/2016 utang luar negeri tercatat US$323,8 miliar (BI, November 2016). BI menyebutkan bahwa berdasarkan kelompok peminjam, pertumbuhan tahunan ULN sektor publik meningkat, sementara pertumbuhan tahunan ULN sektor swasta terus menurun. Dengan demikian, terlihat bahwa pemerintah terus menambah portfolio pinjaman luar negerinya. Utang luar negeri sektor publik terpantau telah tumbuh meningkat menjadi 20,8% (yoy) pada kuartal/III 2016. Gencarnya kenaikan utang pemerintah di tahun ini, mengundang pertanyaan, apakah kondisi ini berbahaya bagi perekonomian kita?

Sebagaimana pernah dibahas dalam media ini (Utang Luar Negeri Indonesia, Masih Amankah?”, vibiznews, 19/02/2016), untuk menilai keamanan posisi utang luar negeri, salah satu indikator yang patut disimak adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt-to-GDP ratio). Secara total, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal III/2016 sebenarnya malah menurun 1,2% dari kuartal sebelumnya menjadi sebesar 35,7%. Akan tetapi, dari sisi utang pemerintah, terlihat kenaikan porsi utang pemerintah pusat (utang dalam negeri dan luar negeri) menjadi Rp 3.444,82 triliun, naik Rp 6,53 triliun dibandingkan akhir Agustus 2016. Ini menyebabkankenaikan komposisi debt-to-GDP ratio menjadi 29,2%, atau naik 2,2% dari posisi akhir tahun 2015 yang sebesar 27%.

  Untuk akhir tahun 2016, diperkirakan akan terjadi peningkatan pinjaman karena pemerintah akan mengeluarkan surat utang jelang untuk prefunding tahun depan. Sementara, untuk utang sektor swasta masih akan tergantung pada laju pertumbuhan permintaan kredit karena masih terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi dan industri, baik secara nasional maupun global.

Bila utang pemerintah bakal naik lagi, lalu tren ini berlanjut, akankah rasio debt-to-GDP ini berlanjut ke level 32% lalu megarah ke 40% di tahun 2018, melampaui posisi satu dekade yang lalu? Ini yang mungkin dikuatirkan sejumlah pihak. Seperti diketahui, hingga 2019 mendatang, pemerintah akan melakukan program pembangunan infrastruktur yang gencar di berbagai daerah. Untuk mencapai target membangun dari pinggiran, maka pemerintah perlu membiayai proyek infrastruktur pada daerah tertinggal melalui APBN. Bila pendanaan dari dalam negeri tidak memadai, memang salah satu caranya adalah menggenjot lagi utang luar negeri.

TantanganInfrastruktur

Anggaran infrastruktur diketahui meningkat tajam pada saat awal Presiden Jokowi memegang pemerintahan. Pada 2015, anggaran pembangunan infrastruktur mencapai Rp 290,3 triliun atau melonjak 63,2% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 177,9 triliun. Meningkatnya anggaran infrastruktur ini waktu itu sebagian ditopang dari hasil realokasi dari subsidi BBM.

Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama pemerintahan Jokowi. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia, memacu pembangunan ekonomi daerah, serta memperlancar jaringan distribusi sehingga diharapkan bisa menekan laju inflasi. Untuk mendukung pelaksanaan proyek infrastruktur yang banyak ini, wajar bila Kementerian PUPR mendapat alokasi belanja APBN yang terbesar di antara kementerian lainnya (video interview, “Peran Strategis Kementerian PUPR dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, vibiznews, 9/10/2015).

Presiden Joko Widodo pernah dengan tegas menyatakan tujuan penggunaan utang luar negeri bukan untuk konsumsi masyarakat melainkan untuk pembangunan negara. “Pendanaan ini untuk investasi meningkatkan produktifitas, bukan utang untuk konsumtif, bukan untuk subsidi BBM,” tegas Jokowi di hadapan para ekonom dan pelaku usaha dalam forum yang digelar ISEI (Juli 2015).

Untuk tahun 2017, anggaran negara yang dialokasikan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana terus dinaikkan. Dana yang dianggarkan untuk infrastruktur tahun 2017 adalah sebesar Rp 387,7 triliun atau naik 10,4 persen dari 2016.

Sejumlah target proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang menjadi sasaran pemerintah di tahun 2017 adalah:

  1. Pembangunan jalan raya sepanjang 815 Kilometer (km)
  2. Pembangunan jembatan 9.399 meter
  3. Pembangunan tahap I dan lanjutan jalur kereta api sepanjang 550 km
  4. Pembangunan pengembangan fasilitas pelabuhan laut di 55 lokasi
  5. Pembangunan baru atau lanjutan bandara di 13 bandara

Untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang besar, terlebih bila hasil penerimaan pajak maupun bukan pajak kurang memadai, diperlukan tambahan utang luar negeri.

Kondisi perekonomian global dewasa ini yang kurang prospektif tentunya menghambat potensi penerimaan devisa ekspor negeri. Ditambah lagi dengan harga komoditas yang masih cenderung melandai rendah, entah kapan akan terbang tinggi. Itu sebabnya, kebijakan “hilirisasi” dalam perekonomian Jokowi sangat perlu didukung agar perekonomian kita lebih memiliki basis nilai tambah yang kuat.

Dari sisi cadangan devisa, cukup besar yang harus terpakai untuk membayar cicilan utang luar negeri pemerintah. Menurut Laporan BI terakhir (7/12/2016), posisi cadangan devisa Indonesia per bulan November 2016 telah menurun dari periode sebelumnya. Cadangan devisa kita terpantau pada US$111,5miliar di bulan November 2016, sedangkan bulan sebelumnya US$115 miliar. Posisi cadangan devisa yang terakhir ini merupakan posisi terendah sejak bulan Juli 2016.

Kondisi cadangan devisa Indoneisa ini secara umum masih dapat dikatakan aman, cukup untuk membiayai sekitar 8bulan impor impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Dibandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, misalnya, cadangan devisa kita masih lebih besar. Cadangan devisa Negeri Jiran tersebut hingga September 2016 hanya US$98,14 miliar. Jika melihat grafik di bawah, cadangan devisa kedua negara sempat merosot pada tahun 2015 namun pertengahan tahun 2016 cadangan devisa di Indonesia naik kembali sedangkan Malaysia masih melorot.

Sementara itu dari sisi penerimaan pajak, kemungkinan di akhir tahun 2016 realisasinya diperkirakan hanya Rp 1.148,8 triliun, atau 85% dari target Rp 1.355,2 triliun. Ini diprediksi juga akan memengaruhi kemungkinan penerimaan pajak di tahun 2017.

Namun demikian, perlu dilihat juga bahwa dampak positif kebijakan “Tax Amnesty” bukan hanya mengumpulkan penerimaan pajak tahun fiskal yang berjalan ini, namun, tujuan utamanya adalah dapat membangun hubungan baru dengan basis data yang baru dan lebih lengkap antara pemerintah dengan wajib pajak. Ini diharapkan memberikan potensi baru terhadap peluang penerimaan pajak di tahun 2017 maupun tahun-tahun sesudahnya.

UtangTetap Dibutuhkan

Kalau ditarik kesimpulan, jelasnya kita memang masih butuh utang luar negeri untuk membiayai, antara lain, program pembangunan infrastruktur yang gencar dan masif di seantero negeri, sementara penerimaan pajak dan bukan pajak masih menemui sejumlah kendala di tengah situasi ekonomi global saat ini.

Pemerintah saat ini menilai utang masih menjadi kebutuhan untuk menutupi besarnya belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Total penerbitan surat berharga negara (SBN) gross untuk tahun depan adalah Rp 596,8 triliun, termasuk di dalamnya jenis valas. Pemerintah sudah mengawali dengan penerbitan surat utang global berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Jumlahnya US$ 3,5 miliar, atau sekitar Rp 46 triliun.Sementara untuk sisa denominasi valas akan direalisasikan pada semester I-2017, kecuali yen atau samurai bond.

Kementerian Keuangan mengatur strategi penarikan utang yang lebih cepat karena mempertimbangkan kondisi perekonomian global, di mana ada risiko gejolak oleh rencana kenaikan suku bunga acuan AS oleh Federal Reserve (The Fed) yang diproyeksi 50 bps. Di samping itu juga, melihat perkembangan keuangan di Uni Eropa dan Jepang serta China, maka penarikan yang lebih cepat akan lebih baik.

Dalam situasi gejolak keuangan global dewasa ini, Indonesia ternyata cukup diuntungkan karena instrumen surat utang yang diterbitkan sudah dikenal oleh investor. Global bonddalam US$ yang diterbitkan pemerintah baru-baru ini laris manis, dengan pemesanan yang mencapai US$ 12 miliar, atau 3,42 kali oversubscribed. Demikian di antaranya penjelasan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan, kepada media (9/12/2016).

Ke depannya, untuk menahan pertumbuhan pinjaman pemerintah maka pemerintah bisa lebih fokus ke infrastruktur dan menarik diri dari investasi non infrastruktur dengan cara melepas ke swasta atau direct investment dari investor asing. Hal berikut yang diharapkan dari pemerintah adalah dari dana repatriasi atas program Tax Amnesty. Demi mengejar dana masuk dari kebijakan ini, tidak kurang dari Presiden Jokowi sendiri yang telah aktif melakukan sosialisasi Tax Amnesty ke sejumlah kota besar.

Alternatif lainnya, pemerintah perlu terus mendorong BUMN untuk go public sehingga ada dana dari masyarakat. Di sisi yang lain,tentunya hal ini membuat profesionalisme BUMN dituntut untuk bisa memenuhi harapan investor lokal.

Utang banyak sebenarnya tidak masalah. Pemerintah negara-negara maju di dunia biasa dengan rasio utang yang besar juga, di atas 100% terhadap GDP, demikian juga negara di kawasan ASEAN. Kreditur besar kita pun, seperti Singapura, Jepang, dan Amerika, nyatanya adalah debitur besar kelas dunia sekaligus. Yang penting, alokasi utang diarahkan untuk membiayai kegiatan ekonomi yang produktif. Dan, pembangunan infrastruktur adalah alokasi anggaran yang produktif:

Akhirnya, Manajemen Utang

Memang tidak langsung terlihat dampak ekonomis dari pembangunan infrastruktur. Ada jeda waktu yang bisa relatif panjang untuk melihat dampak multiplier dari infrastruktur dan sarana perekonomian terhadap roda perekonomian daerah dan nasional. Tetapi dalam 1, 2, atau 3 tahun di depan pasti akan terlihat dampak positifnya. Asalkan –ini penting- proyek-proyek infrastruktur jangan berhenti di tengah, atau mangkrak. Karenanya, sangat layak diapresiasi bagaimana Presiden Jokowi amat rajin berkeliling Indonesia, di antaranya, untuk memastikan penyelesaian proyek-proyek infrastruktur yang telah dicanangkan sebelumnya.

Kembali kepada utang luar negeri, manajemen utang yang prudent, yang memperhitungkan aspek jangka waktu pencairan, komposisi mata uang, tingkat suku bunga dan komposisinya, jadwal utang, sumber pendanaan, serta pencegahan kebocoran alokasi, itulah yang menentukan tingkat keamanan dari risiko portfolio utang luar negeri kita.

Belum lama ini, Bank Indonesia menyatakan bahwa perkembangan utang luar negeri (ULN) pada Triwulan III 2016 masih cukup sehat, namun terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. BI meyakinkan bahwa ULN ini dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas makroekonomi (vibiznews, 21/11/2016).

Kita percaya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memiliki kompetensi dan pengalaman yang piawai dalam manajemen utang pemerintah, apalagi di tangan Menteri Keuangan kelas dunia, Sri Muljani. Yang penting untuk dijaga adalah laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten, misalnya, di atas 5% sampai 6% per tahunnya, agar surplus produksi pada gilirannya dapat menutup defisit pembiayaan saat ini. Dan itu, dapat dicapai dengan terobosan kelambanan ekonomi melalui pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang merata di berbagai daerah.

Kebijakan pemerintah di bawah Presiden Jokowi, karenanya, nampak sudah tepat untuk secara sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya akan menurunkan nilai utang pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri. Penulis sendiri berpandangan bahwa situasi ekonomi dunia tidak akan menjadi lebih baik di tahun 2017. Harapannya semoga ekonomi Indonesia tetap akanbisa kembali bertumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Kita inginkan prospek cerah masa depan ekonomi Indonesia ini kembali berlanjut. Memang ini bukan perkara gampang, sangat tidak gampang.

Jakarta, 9 Desember 2016

Bernhard Sumbayak

Founder and Chairman of Vibiz Consulting
Vibiz Consulting Group

 

Editor: Jul Allens

 


Distribusi: Vibiznews

Speak Your Mind

*

*