Untung Selisih Valas, DPR Harus Desak BPK Segera Audit BI

Selasa, 04 Agustus 2015 | 00:10 WIB

Bank Indonesia. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, Jakarta – DPR didesak segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit pelaksanaan operasi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), mengingat adanya konflik kepentingan yang menyebabkan bank sentral setengah hati mengamankan target nilai tukar yang diamanahkan UU APBN.

Roso Daras, peneliti dari Garuda Institute—lembaga independen yang menaruh perhatian pada keuangan negara—mengatakan undang-undang tidak mengizinkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa operasi moneter BI selama pemeriksaan tersebut tidak didahului oleh permintaan dari DPR.

“Karena itu, kami mendesak DPR meminta BPK mengaudit operasi moneter BI. Sudah jelas ada konflik kepentingan dalam pengelolaan moneternya. Kian tinggi depresiasi dan volatilitas rupiah, kian besar pula laba kurs yang diraup BI. Dan inilah yang terjadi sekarang: Mereka berpesta pora di tengah penderitaan rakyat,” ujarnya, Senin, 3 Agustus 2015.

Sebelumnya diberitakan BI meraih surplus Rp 41 triliun pada 2014, dengan penghasilan Rp 93 triliun, naik Rp 22 triliun dari tahun sebelumnya Rp 71 triliun. Kontributor utamanya selisih kurs transaksi valas, yang lompat Rp 18 triliun dari Rp 34 triliun jadi Rp 52 triliun. Surplus, penghasilan, dan laba kurs itu rekor tertinggi dalam sejarah BI.

Namun, dalam laporan keuangannya, BI menyatakan pendapatan selisih kurs transaksi valas itu adalah dampak dari penjabaran transaksi valas ke rupiah dalam rangka pengelolaan devisa dan pelaksanaan kebijakan moneter. “Meningkatnya pendapatan itu bukan tujuan, namun dampak dari pelaksanaan kebijakan yang ditempuh BI.”

Laporan itu juga menyebutkan, pada 2014 BI menggunakan dana cadangan tujuan—yang bersumber dari surplus akibat laba kurs tadi—sebesar Rp 806 miliar. Perinciannya, Rp 757 miliar untuk pembaruan dan penggantian aset tetap, sisanya Rp 49 miliar untuk pengembangan organisasi dan sumber daya manusia.

“Penggantian aset tetap dan pengembangan SDM itu apalagi kalau bukan tambahan fasilitas yang diterima pengelola BI di luar gaji tinggi dan tunjangan yang sudah berlimpah. Dan itu semua terjadi justru saat BI meminta kita mengencangkan ikat pinggang. Kita disuruh ikhlas menderita, mereka pesta pora,” kata Roso.

Roso menekankan dalam situasi ini DPR harus bisa melepaskan relasi spesialnya dengan BI. DPR harus bisa melihat independensi BI adalah independensi yang tidak tak terbatas. Artinya, independensi tersebut tidak boleh digunakan justru untuk melanggengkan konflik kepentingan yang mengakibatkan rakyat semakin menderita.

Audit operasi moneter itu penting karena di sisi lain undang-undang juga tak memaksa BI menyerahkan seluruh surplusnya ke pemerintah hingga berkontribusi ke penerimaan negara atau juga ke cadangan devisa. Sebaliknya, undang-undang malah memerintahkan pemerintah untuk menalangi BI apabila neraca keuangannya defisit.

“Dulu malah surplusnya itu tidak kena pajak. Apa enggak enak betul posisi BI. Kalau defisit dia minta pemerintah. Tapi kalau surplus dia simpan sendiri, sebagian dia bagi sendiri. Sementara kita rakyat Indonesia ini disuruh ikhlas menderita. Ini luar biasa. Kita menderita, mereka pesta pora, dan ini dilindungi undang-undang,” kata Roso.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari BI. Namun, beberapa waktu lalu pasar juga sempat mempertanyakan kredibilitas BI, menyusul langkah tak terduga penurunan BI Rate. Dan sejak akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah telah menembus batas psikologis baru, Rp 13.500 per dolar AS, tertinggi sejak krisis moneter 1998.

BISNIS.COM


Distribusi: Tempo.co News Site

Speak Your Mind

*

*