Twin Shock Dunia Berdampak ke Ekonomi Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kondisi perekonomian dunia yang mengalami twin shock dinilai berdampak pada perekonomian domestik.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardjojo, mengatakan shock pertama turunnya harga minyak dunia (crude oil) dari 130 dolar per barel dalam lima bulan menjadi 50 dolar per barel.

Dampaknya, bagi negara net eksporter minyak akan mengalami situasi sulit, sedangkan negara berkembang yang net imported akan menerima manfaat. Misalnya, Arab Saudi yang 90 persen penerimaan dari eskpor minyak bakal mengalami kesulitan. Sementara Indonesia sebagai net importer mendapat manfaat karena harga minyak sudah jauh lebih rendah.

“Tapi kita tahu kondisi dunia tiga tahun terakhir harga-harga komoditi utama terus turun. Data terakhir khsusunya delapan komoditi utama Indonesia masih akan turun. Ada shock minyak sebetulnya berdampak pada harga komoditi,” kata Agus dalam Indonesia Economic and Market Outlook 2015 di Hotel Darmawangsa, Jakarta, Kamis (29/1).

Shock kedua, lanjutnya, normalisasi perekonomian Amerika Serikat, merupakan satu-satunya negara maju yang perekonomiannya cenderung pulih. Sementara, negara maju lainnya dalam kondisi belum membaik, bahkan Jepang dan Eropa dalam kondisi reses.

“Kondisi ekonomi AS menguat, pada saat ini masih taraf awal, bahkan kenaikan suku bunga belum dilakukan tapi sudah ada dampaknya,” imbuh Agus.

Agus mengatakan, kondisi twin shock dunia akan berdampak bagi Indonesia melalui tiga saluran. Yakni, saluran pertumbuhan ekonomi yang rendah, harga komoditas yang turun yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, dan shock di saluran keuangan.

Menurutnya, Indonesia harus waspada denga pertumbuhan ekonomi dunia. Pada April 2014, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2015 sebesar 4 persen, kemudian direvisi menjadi 3,8 persen pada Oktober, dan direvisi lagi menjadi 3,5 persen pada Januari 2015.

“Secara umum, pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 4 persen menunjukkan lemah, kita harus hati-hati,” ujarnya.

Di samping itu, dari sisi domestik, pemerintah harus mewaspadai defisit transaksi berjalan atau current accoutn deficit (CAD) dan defisit APBN. Selama tiga tahun terakhir neraca transaksi berjalan menunjukkan defisit karena impor lebih besar daripada ekspor.

Sementara, jika dibandingkan dengan negara lain di Asean, tidak ada negara yang transaksi berjalannya defisit, semuanya surplus.

Meski demikian, Agus optimistis, neraca perdagangan Desember 2014 menunjukkan surplus akibat pengelolaan subsidi energi yakni pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

“Itu adalah reformasi yang ditunggu dunia. Indonesia mengambil langkah tepat, karena pemerintahan baru dan harga minyak dunia turun. Itu mengakibatkan transaksi berjalan defisit sekaligus bisa menangani defisit APBN,” imbuhnya.

Agus mengatakan dalam 10 tahun terakhir  rata-rata petumbuan ekonomi Indonesia 6,8 persen. Angka tersebut menempatkan Indonesia di posisi ketiga di dunia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi.

Sampai akhir 2015, Bank Indonesia tetap menargetkan inflasi di kisaran  4 plus menus 1 persen. Namun, sepanjang tahun 2015 inflasi  masih di kisaran 8 persen, karena masih ada hitungan year on year (yoy) kenaikan harga BBM pada November 2014.

Sedangkan, inflasi di Negara-negara Asean dalam 10 tahun terakhir di bawah 5 persen. Menurutnya, kata kunci mengontrol inflasi karena negara-negara tersebut tidak memberikan subsidi BBM.

“Kenapa BI rate lebih tinggi daripada Filipian 4 persen, Indonesia 7,75 persen. Inflasi tinggi dan ekspektasi Indonesia masih bisa tinggi, kita enggak bisa ambil risiko inflasi naik, baru ada hujan badai logistik tertahan harga naik. Harga cabai naik Rp 1win sho00 ribu kontribsui inflasi 0,4 persen,” ujarnya.


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*