Tren naik, tapi harga minyak tak lebih US$ 40

Jakarta. Harga minyak masih terus melaju di atas US$ 35 per barel. Kini minyak sedang mengalami tren penguatan jangka pendek.

Meski demikian, analis memprediksi harga sulit menembus US$ 40 per barel. Deddy Yusuf Siregar, Analis PT Asia Tradepoint Futures mengatakan, negara – negara produsen minyak akan terus mempertimbangkan produksi shale oil Amerika Serikat (AS) sebagai kompetitor mereka.

Pasalnya, jika harga minyak ke atas US$ 40 per barel akan memberikan dukungan bagi produsen shale. “Nilai ekonomis shale oil akan tercapai jika harga minyak bergulir pada level US$ 40 per barel,” ujarnya.

Deddy menilai perlambatan ekonomi China akan menjadi sentimen negatif bagi harga minyak tahun ini. Kinerja neraca perdagangan China pada bulan Februari lalu lebih buruk dari perkiraan.

Angka surplus neraca perdagangan turun menjadi 210 miliar yuan dari sebelumnya 406 miliar yuan serta di bawah proyeksi sebesar 339 miliar yuan. Angka ekspor jatuh paling dalam selama lebih dari enam tahun.

Meski China mencatat rekor impor minyak mentah sepanjang bulan Februrai yakni 8 juta barel per hari, analis memperkirakan angka ini terancam turun. Pasalnya, angka penjualan mobil mulai jatuh karena perlambatan ekonomi.

Proyeksi Deddy, harga minyak belum tentu dapat bergulir di atas US$ 40 per barel di tahun ini. Negara konsumen terbesar memang telah berdiskusi terkait pembekuan produksi.

Namun, pembekuan produksi dilakukan untuk menjaga harga minyak tetap stabil, bukan untuk melambungkan harga. Sementara ekspansi harga akan tertahan dengan pernyataan Iran yang berencana menggenjot produksi hingga 2 juta barel per hari.

“Harga masih akan sulit menguat lebih jauh. Kemungkinan peluang menguat baru akan terbuka tahun depan,” lanjut Deddy.

Mengutip Bloomberg, Rabu (9/3) pukul 14.30 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman April 2016 di New York Merchantile Exchange menguat 0,46% ke level US$ 36,67 per barel dibanding sehari sebelumnya.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*