Tidak Ada Ruang Pemangkasan Suku Bunga

shadow

Gundy Cahyady, ekonom dari Bank DBS Singapura berbagi pendapatnya mengenai kondisi ekonomi Indonesia kuartal terakhir tahun ini. Diperkirakan olehnya bahwa Bank Indonesia akan terus menahan suku bunganya dan mempertahankan setimen market terhadap rupiah. Menurutnya, melemahnya rupiah menimbulkan risiko inflasi dan merupakan penghambat bagi pertumbuhan investasi. Disisi lain, suku bunga jangka pendek di market relatif meningkat di beberapa bulan terakhir. Ditegaskan olehnya, bahwa bukan tidak mungkin langkah berikutanya adalah kenaikan suku bunga dan bukan penurunan.

Bank Indonesia akan terus memberikan dukungan terhadap rupiah

FINANCEROLL – Disaat beberapa bank sentral di Asia memangkas suku bunga di beberapa minggu belakangan, kami tidak melihat Bank Indonesia (BI) akan melakukan hal yang sama. Kami memperkirakan BI akan tetap mempertahankan kebijakan moneternya ke depan, walaupun adanya risiko penurunan terhadap pertumbuhan PDB. Alasan pertama adalah meningkatnya inflasi. Tidak seperti negara lain di Asia, tingkat inflasi inti di Indonesia sejak 2014 lalu sudah mengalami kenaikan. Pelemahan rupiah yang berkelanjutan terhadap dollar Amerika terus berlanjut dalam meningkatkan harga barang domestik. Ini mengingat bahwa import content of production diperkirakan sekitar 70%.

Meskipun rupiah sempat mengalami penguatan di dua minggu terakhir, pelemahan rupiah tetap menjadi perhatian untuk BI. Sejak akhir tahun 2013, rupiah telah jatuh sekitar 17% terhadap dollar hingga bulan September 2015 kemarin. Secara nominal effective exchange rate (NEER), rupiah juga berada di level terlemahnya sepanjang sejarah, walaupun sebenarnya hanya sekitaran 1% lebih lemah dibandingkan level di akhir tahun 2013.

Sebagian besar dari barang-barang impor didenominasikan dalam mata uang dollar Amerika, dan ini memengaruhi sentimen di antara pelaku bisnis. Biaya produksi yang melonjak juga meredam pertumbuhan investasi, yang kami prediksikan sekitar 3,6% untuk tahun ini, terendah selama 10 tahun terakhir.

Bank Indonesia tidak lagi bersikap toleran terhadap lemahnya rupiah. Bank sentral sudah melakukan banyak usaha untuk mencegah pelemahan lebih lanjut. Jumlah cadangan devisa telah mengalami penurunan. Dan menurut kami, intervensi yang agresif mungkin bukan pilihan terbaik untuk saat ini, mengingat pelemahan rupiah lebih dikarenakan penguatan sentimen global terhadap dollar, seperti yang tercemin di pergerakan NEER rupiah. Walaupun perlu dicatat bahwa jumlah cadangan devisa saat ini masih memberikan cakupan sebesar dua kali dari utang luar negeri jangka pendek dan delapan kali import cover.

Untuk terus menjaga stabilitas rupiah, BI telah mengeluarkan berbagai kebijakan sepanjang tahun ini. Tiga kebijakan terakhir yang diumumkan pada tanggal 30 September cukup menarik untuk kita bahas. Pertama, intervensi akan dilakukan di forward market dan bukan hanya di spot market. Kedua, pengurangan pajak bunga deposito untuk para eksportir yang menyimpan pendapatannya di perbankan Indonesia. Ketiga, penurunan holding period SBI dari 1 bulan menjadi 1 minggu

Kebijakan-kebijakan tersebut direncanakan untuk efektif mulai bulan ini. Sejak bulan Juli, kenaikan US dollar/rupiah forward points telah menambah biaya melakukan hedging untuk melindungi nilai mata uang rupiah. Hal ini telah menambah permintaan dollar di spot market. Dengan komitmen untuk intervensi di forward market, BI memberikan sinyal kuat untuk menjaga kestabilan rupiah.

Tujuan kebijakan nomor dua di atas adalah untuk memberikan insentif kepada para eksportir untuk menukar pendapatan dollar mereka dan menyimpannya dalam deposito rupiah dengan tenor yang lebih lama. Kami melihat dua halangan mengenai hal ini — kebanyakan eksportir cenderung bekerja dengan cash basis dan likuiditas merupakan kunci. Walaupun pengurangan pajak bunga deposito ini cukup signifikan, tidak semestinya para eksportir akan otomatis membekukan pendapatan mereka ke deposito dengan jangka waktu yang panjang. Sebagai tambahan, terdapat kemungkinan bahwa para eksportir masih ragu untuk membawa pendapatan mereka onshore terlebih jika tidak adanya pajak bunga deposito saat melakukan deposito offshore.

Bagi kami, kebijakan ketiga di atas bisa jadi yang terpenting dari semua. Dalam rentang tahun 2009-2010, SBI merupakan instrumen populer untuk spekulasi terhadap penguatan rupiah. Kepemilikan asing atas SBI meningkat hampir mencapai 60 persen dari kepemilikan asing untuk obligasi pemerintah Indonesia. Holding period satu bulan diumumkan di pertengahan tahun 2010 dan kemudian diperpanjang menjadi enam bulan di pertengahan 2011, yang ditujukan untuk mengerem arus masuk ‘uang panas’. Di akhir tahun 2011, kepemilikan asing atas SBI menurun drastis hingga mendekati nol.

Menjelang akhir tahun 2013, BI memutuskan untuk memperpendek holding period SBI kembali menjadi satu bulan, dan kini terus diperpendek menjadi satu minggu. Hal ini mengindikasikan upaya bank sentral untuk mendongkrak arus masuk dari pihak asing

Jangan pernah mengesampingkan kemungkinan adanya kenaikan suku bunga

Walaupun kita memperkirakan BI untuk menjaga tingkat suku bunga stabil hingga tahun depan, suku bunga jangka pendek di market sendiri sebenarnya sudah melonjak. Dalam dua bulan terakhir, 3m JIBOR meningkat mencapai 70bps. Hasil dari SDBI juga ikut naik hingga 50bps di hampir semua jangka waktu tenor. Peningkatan suku bunga mungkin counterintuitive dikarenakan banyaknya resiko terhadap pertumbuhan PDB. Namun jika memang underlying demand untuk kredit perbankan rendah, suku bunga yang lebih tinggi mungkin tidak akan terlalu berpengaruh pada laju pertumbuhan kredit baru bank. Di saat bersamaan, jika suku bunga lebih tinggi akan meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah, mungkin ianya pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap prospek pertumbuhan PDB. (DBS-GC/Lukman Hqeem)

Catatan :

Jadikan 3 Halaman.

1 Halaman pembuka, gambar Full. Halaman kedua full text, halman ke tiga ada foto Gundy Cahyadi. Di kanan atas.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*