The Fed Dibingungkan Oleh Data Sektor Tenaga Kerja

shadow

FINANCEROLL – Pada Rabu (09/09) waktu setempat, Biro Statistik AS akan menerbitkan hasil jajak kondisi lapangan kerja terkini, Job Openings and Labor Turnover (JOLT) yang menjadi satu pertimbangan kritis bagi para pengambil kebijakan di The Federal Reserve.

Para anggota komisi The Federal Open Markets Committee (FOMC) telah memberikan isyarat perhatian mereka untuk menaikkan suku bunga acuan utama pada bulan September ini sejak Juni 2006. Sayangnya, jatuhnya harga minyak mentah saat ini ditambah dengan fluktuasi di pasar uang, buntut dari keputusan Tiongkok untuk mendevaluasi Yuan mereka, telah menimbulkan pertanyaan baru dibenak banyak orang, apakah The Fed cukup bijaksana menaikkan suku bunga pada bulan ini.

Gubernur Bank Sentral AS wilayah New Yok William Dudley pada 26 Agustus lalu, menyatakan bahwa kenaikan suku bunga dibulan September ini menjadi kurang menarik dalam beberapa minggu terakhir ini. Dalam penilaian saya, pada saat ini, keputusan untuk mulai melakukan proses normalisasi dalam pertemuan rutin FOMC  pada September nanti nampaknya sudah tidak menggairahkan lagi dibandingkan beberapa minggu lalu, ungkap Dudley dalam sebuah pertemuan dengan media di New York. Ditambahkan olehnya bahwa normalisasi akan menjadi hal yang menarik dilakukan dalam pertemuan tersebut, jika ada beberapa data ekonomi AS terbaru menunjukkan kondisi yang lebih baik serta lingkungan pasar uang internasional yang lebih kondusif.

Sejatinya diantara berbagai masalah besar yang menghadang The Fed dalam mengambil keputusan untuk menaikkan suku bunga adalah kebingungan dan pertentangan diantara tanda-tanda yang diberikan oleh sektor ketenaga kerjaan AS sendiri. Dalam sebuah model yang disajikan oleh The Fed, tingkat rata-rata pengangguran AS atau non-accelerating inflation rate of unemployment (NAIRU)  berkisar pada angka 5 persen. Jika angka rata-rata pengangguran dibawah ini maka akan memberikan tekanan pada kenaikan harga. Saat ini, tingkat pengangguran AS berada di angka 5,1%, semenetara inflasi AS masih belum menunjukkan tanda-tanda kenaikan lebih tinggi.

Komplikasi lebih lanjut data sektor ketenaga kerjaan AS terjadi dengan melihat pada angka dibulan Agustus yang cenderung lebih rendah dari perkiraan  awal. Dalam sejarahnya, hal yang demikian ini juga sering diperbaiki secara siginifikan angka-angkanya dalam beberapa minggu kemudian. Tentu saja, ini semakin menambah daftar panjang hal-hal yang bisa membuat ketidak pastian membebani para anggota FOMC. Kebingungan ini terbukti dalam hasil pertemuan FOMC bulan Juli kemarin. Beberapa peserta pertemuan menunjukan keutamaan masalah inflasi yang masih dibawah target selama beberapa periode ini menjadi beban untuk mengambil keputusan menaikkan suku bunga. Selain itu juga beberapa bukti mengenai kondisi ekonomi AS yang masih lemah juga dipergunakan.

Mereka beranggapan bahwa kondisi ekonomi AS saat ini masih belum cukup meyakinkan untuk menjadi pijakan pengambilan keputusan menaikkan suku bunga. Laju inflasi belum cukup meyakinkan bisa mencapai 2% sebagaimana target mereka dalam jangka menengah. Bahkan proyeksi inflasipun masih belum memenuhi harapan awal yang dibuat Komisi. Beberapa anggota lainnya  mengkutip berbagai bukti respon inflasi mengalami penurunan sumber daya dan menunjukkan perhatian mereka mengenai resiko lebih lanjut dari menurunya tekanan inflasi yang bersumber dari perkembangan internasional.

Sejauh ini, harapan pasar akan kenaikan suku bunga dibulan September ini tinggal 30% saja. Namun jika hasil jajak JOLTS dibawah ekspektasi, bisa saja mereka akan menunda hingga pertemuan reguler selanjutnya. (Lukman Hqeem)


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*