Terlalu banyak kebijakan, minim efek bagi rupiah

JAKARTA. Banyaknya kebijakan ekonomi yang sudah dirilis oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terlihat belum berdampak besar. Implementasi dan efektivitas yang minim untuk jangka pendek dinilai sebagai kendala utama dari belum berhasilnya kebijakan ini menjaga posisi rupiah di hadapan USD.

Menurut Farial Anwar, Pengamat Pasar Uang mengkritisi, masih banyak kebijakan yang memiliki kekurangan hingga bolong di banyak sisi. Ambil contoh kebijakan BI di pasar forward derivative yang tujuannya untuk melakukan hedging di pasar derivative bagi kontrak yang belum habis masa berlakunya namun sudah ingin diperpanjang. Masalahnya, pasar derivative Indonesia tidak likuid, sehingga pihak bank enggan memberikan hedging karena berisiko tinggi.

“Hal ini jelas terlihat belum akan berdampak dalam jangka pendek,” kata Farial.

Kebijakan lainnya, likuiditias sertifikat deposito BI tenor tiga bulan yang dilakukan supaya meminimalisir rupiah menganggur di pasar. Dengan minimnya rupiah di pasar, diharapkan likuiditas menjadi kering. Namun efek sampingnya, harga dan suku bunga menjadi naik. Tentunya hal ini akan menjegal langkah rupiah di masa mendatang.

Tidak jauh berbeda, kebijakan BI dengan menurunkan masa tenggang waktu holding period Surat Berharga Bank Indonesia menjadi satu minggu dinilai memiliki risiko tinggi. Sebab, semakin banyak hot money yang beredar di pasar, karena kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan arus USD yang masuk ke pasar Indonesia.

“Tapi begitu mudahnya arus USD masuk, semudah itu pula keluarnya. Kebijakan ini justru yang paling rawan risiko,” ujar Farial. Permasalahan rupiah yang utama saat ini adalah terlalu tingginya pergerakan arus keluar-masuknya dana asing di pasar Indonesia. Dengan holding period yang terlalu singkat justru akan memicu timbulnya penyakit kronis tingginya arus keluar-masuk tersebut.

Belum lagi, insentif bunga devisa ekspor yang tadinya 20% diturunkan sesuai tenor menjadi kisaran 5% – 7,5% untuk mengiming-imingi agar devisa ekspor tidak kabur dari Indonesia. “Ini serta merta akan menjadi daya tarik bagi eksportir,” tambah Farial.

Kebijakan BI yang sudah menumpuk ini sangat minim implementasi dan banyak berbenturan dengan peraturan yang ada sehingga sulit langsung dijalankan secara efektif. Sementara rupiah butuh kinerja kilat untuk mendongkrak nilai jangka pendek.

Selagi masih banyak celah bagi asing untuk menarik masuk dan keluar dananya di pasar Indonesia, selama itu pula rupiah akan terus terseret. “Rencana Bank Indonesia untuk kembali menggelontorkan kebijakan terlalu gegabah,” ujar Farial.

Terlampau banyak kebijakan juga akan menimbulkan kebingungan dan disharmonisasi antar departemen dan kementerian terkait. Efeknya, rupiah bukan akan terbantu malah terkikis beriringan dengan menipisnya kepercayaan pasar.

Menurutnya, yang dibutuhkan rupiah saat ini adalah kinerja nyata hasil dari implementasi kebijakan yang ada. “Terlihatnya di pasar hanya sebagai pencitraan untuk menunjukkan kinerja,” kata Farial. Bisa saja memang berjalan dan berdampak, tapi hal itu untuk jangka panjang, tidak dalam waktu dekat.

Hanya ada dua skenario dari penerapan kebijakan BI tersebut. Pertama, jika beberapa dari kebijakan tersebut bisa berjalan cepat dan terasa di pasar maka rupiah bisa mendulang kekuatannya. Pasar akan kembali melirik Indonesia, imbasnya rupiah bisa terangkat ke kisaran Rp 14.300 – Rp 14.500 di akhir tahun 2015.

Namun, jika memang butuh waktu yang lebih lama untuk diimplementasikan dan tidak berefek besar di akhir tahun, rupiah akan kian terkikis. Bukan tidak mungkin level Rp 14.700 – Rp 15.000 tembus di penghujung tahun 2015 ini.

Editor: Barratut Taqiyyah.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*