Dia menuturkan, masih mahalnya harga gas untuk pasar domestik membuat industri perkapalan di dalam negeri kurang berdaya saing. Industri baja nasional yang memasok bahan baku untuk kapal terbebani oleh mahalnya gas domestik, akibatnya biaya produksi dalam negeri pun kurang efisien.
Untuk menekan harga gas untuk industri di dalam negeri, khususnya industri baja yang menjadi bahan baku kapal, Jonan mengusulkan agar harga gas di dalam negeri mengikuti patokan harga internasional.
“PT Krakatau Steel (industri baja) itu kan pakai gas. Kalau ngobrol dengan KS, harga gas yang dia dapat dari PGN lebih mahal dari pasokan internasional. Kepentingan Kementerian Perhubungan adalah untuk mendorong industri perkapalan. Kita dorong ke harga gas ke harga internasional agar bisa bersaing,” ujar Jonan dalam konferensi pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (12/9/2015).
Jonan mengungkapkan, harga gas untuk industri baja di dalam negeri saat ini mencapai US$ 9,8 per mmbtu (Million British Thermal Unit), padahal harga gas di pasar internasional rata-rata hanya US$ 7,6 per mmbtu. “Kalau pasokan internasional sekitar US$ 7,6 per mmbtu. Dari PGN US$ 9,8 per mmbtu,” ucapnya.
Menurut dia, lebih baik harga gas untuk industri di dalam negeri disamakan saja dengan harga ekspor agar bisa ikut menikmati harga yang rendah belakangan ini. Jonan berpendapat, kalaupun nanti harga minyak dunia naik lagi dan ikut mengerek harga gas, industri di dalam negeri tidak kehilangan daya saing, sebab industri di luar negeri juga terbebani harga gas yang sama saja.
“Kalau nanti harga gas internasional naik, nggak masalah karena harga di luar kan juga naik, jadi kita tidak kehilangan daya saing,” tukasnya.
Sebelumnya Jonan juga mengelukan tingginya harga avtur dari Pertamina, yang menurut laporan yang ia dapat dari PT Angkasa Pura II lebih mahal 20% dibandingkan harga internasional.
(rrd/rrd)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com
—
Distribusi: finance.detik
Speak Your Mind