Saatnya Memandang Utang Negara Sebagai Peluang

Saatnya Memandang Utang Negara Sebagai Peluang

Hingga saat ini utang masih dipandang sebagai momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan pemahaman yang sempit dan assymetric information yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Komponen utang tidak selamanya bermakna negatif. Tetapi utang juga dapat dipandang positif apabila utang menjanjikan peluang usaha lebih besar dan biaya yang lebih murah. 

Perlu diketahui sebelumnya, utang negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu utang luar negeri (ULN), dan utang dalam negeri (UDN). Seperti kita ketahui bersama, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Desember 2013 lalu kembali bertambah US$ 3,8 miliar atau Rp 44,733 triliun, jika mengacu pada kurs BI sebesar Rp 11.772 per US$, menjadi US$ 264,1 miliar. Angka ini naik 3,7 persen jika dibandingkan utang pada November 2013 yang sebesar US$ 260,3 miliar.

ULN Indonesia per Desember 2013 mengalami pertumbuhan 4,06% (year on year), atau lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan utang LN pada tahun sebelumnya sebesar 12,0% (yoy). Posisi utang luar negeri (LN) Indonesia per Desember 2013 saat ini sebesar US$ 264 miliar, terdiri dari utang luar negeri sektor publik 46,8% dan swasta 53,2%.

Berdasarkan paparan data tersebut, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa negara maju yang memiliki sumber dana yang melimpah tentu masih akan mencari negara yang berpotensi untuk berkembang seperti Indonesia sebagai sasaran investasi yang dapat menggerakan perekonomian Indonesia. Sehingga, seperti yang kita rasakan, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi  sebesar 6-7% yang mengakibatkan naiknya jumlah kelas menengah kebawah secara signifikan.

Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat namun tidak diiringi dengan pembangunan sarana dan infrastruktur yang menunjang akan menimbulkan masalah baru. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum seutuhnya memandang utang sebagai upaya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah lebih suka untuk menurunkan rasio utang terhadap GDP sampai sekitar 28% of GDP (utang dinilai dari jumlah riil bukan nominal, sehingga walaupun secara nominal utang kita bertambah, namun secara riil utang kita terus menurun). Hal ini yang dianggap sebuah prestasi oleh pemerintah.

Dengan memahami realitas kondisi utang dan bentuk penyikapannya terhadap utang negara. Hendaknya dengan masih adanya utang yang dialirkan kepada negara kita dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai peluang untuk membangun perekonomian.

 

Stephanie Rebecca/Junior Analyst Equity Research of Vibiz Consulting
Editor: Jul Allens

 


(Sumber : http://vibiznews.com/feed/ )

Speak Your Mind

*

*