Rupiah Tak Laku di Daerah Perbatasan, Ini Kata BI

Jakarta -Penggunaan mata uang selain rupiah sebagai alat transaksi di wilayah perbatasan masih saja terjadi sampai saat ini. Misalnya di wilayah yang berbatasan dengan Timor Leste, Papua Nugini, atau Malaysia. Seringkali mata uang di negara-negara tetangga itu yang berlaku.

Padahal, UU No 7/2011 menetapkan mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah rupiah. Mata uang ini adalah alat pembayaran yang sah untuk setiap transaksi di seluruh wilayah NKRI.

Setiap warga negara wajib untuk menaati hukum positif yang berlaku, termasuk UU No 7/2011 tentang Mata Uang. Jika tidak, maka tentunya ada sanksi.

Pasal 33 UU No 7/2011 menyebutkan setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai alat pembayaran selama berada di Indonesia, kecuali patut diduga uang itu palsu. Penolakan untuk menerima rupiah bisa dikenai sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.

Bank Indonesia (BI) merupakan institusi yang berwenang untuk melakukan pengeluaran, pencetakan, pengedaran, penarikan, dan pemusnahan rupiah. Bagaimana BI menanggapi penggunaan mata uang asing yang marak di wilayah perbatasan?

“Secara UU, transaksi harus menggunakan rupiah. Itu wajib. Bila tidak menggunakan rupiah, seperti melakukan penolakan, maka akan melanggar UU,” tegas Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs saat dihubungi detikFinance, Rabu (28/5/2014).

Namun, lanjut Peter, ini menjadi sedikit berbeda jika melihat kondisi di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Ada beberapa masalah yang mendasari penggunaan mata uang lain, seperti dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan rupiah.Next

(mkl/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*