Rupiah kian loyo, emiten ketar-ketir

JAKARTA. Nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk menyebabkan sejumlah emiten saham degdegan. Pengaruh ini kian terasa bagi emiten yang memiliki utang dollar Amerika Serikat (AS) besar atau menanggung beban produksi yang harus dibayar dalam mata uang dollar.

Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk (INAF) Yasser Arafat mengatakan, pihaknya mengajukan revisi harga obat generik ke Kementerian Kesehatan. “Kami akan minta dinaikkan 20%-30%,” ujar Yasser kepada KONTAN, Kamis (10/9).

Saat situasi nilai tukar rupiah terus melemah dan bahan baku impor dalam dollar AS, Yasser Arafat memastikan, Indofarma akan merugi jika tetap menahan harga jual. Jika Kementerian Kesehatan bersikeras tidak menaikkan harga obat generik, INAF bisa jadi tidak berproduksi lagi. “Tidak ada perusahaan yang mau memproduksi kalau rugi, kecuali PSO,” tegasnya.

Akibatnya, ia pastikan pasokan obat-obatan generik ke masyarakat akan terhenti. “Selama ini, kami tidak pernah mengambil margin besar dari obat generik. Yang penting suplai berkelanjutan. Kalau tidak ada margin lagi, ya, tidak fair bagi industri,” paparnya.

Beratnya beban dalam mata uang dollar juga terjadi pada industri manufaktur otomotif. Direktur PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) Yusak Kertowidjojo mengatakan, sebagian besar biaya industri ini dalam mata uang dollar AS. Selain itu, walaupun bahan baku, seperti besi dan plastik dibeli di pasar lokal, harga bahan baku itu tetap terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar. “Kalau dollar AS naik, harga besi dan plastik juga ikut naik,” terang Yusak.

Dampak lanjutannya adalah, mau tidak mau perusahaan harus menaikan harga produk otomotif demi menjaga margin. Namun dalam ekonomi lesu seperti saat ini, masih sulit bagi Indomobil menaikan harga. “Penjualan saja udah turun,” tegasnya.

Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava mengatakan, hingga 30 Juni 2015, utang BUMI mencapai US$ 3,7 miliar. Saat ini, perusahaan dalam proses restrukturisasi utang, termasuk yang melibatkan proses hukum di pengadilan Singapura.

“Tujuan kami tetap, menurunkan utang signifikan dan membuka sejumlah opsi yang mungkin,” tegas dia.

Emiten sektor telekomunikasi, seperti PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Indosat Tbk (ISAT) merestrukturisasi utang, dengan pembayaran utang dollar lebih cepat. EXCL memiliki utang valas US$ 1,5 miliar. Dari total utang itu, EXCL hanya melakukan lindung nilai US$ 600 juta. EXCL berencana merestrukturisasi US$ 900 juta. ISAT berutang banyak dalam rupiah untuk menutup utang dollar AS. Sejak awal tahun, ISAT merestrukturisasi utang dollar.

Per Agustus, uang dollar ISAT tinggal sekitar US$ 515 juta dari total utang Rp 22,6 triliun. ISAT berniat terus menekan utang dollar menjadi sekitar 15%-20% dari total utang. Managing Partner Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe mengatakan yang terkena dampak pelemahan rupiah adalah emiten yang membeli bahan baku dan biaya-biaya lain dalam dollar dan menjual produk atau jasa dalam mata uang rupiah.

Moody’s Investors Service dalam outlook kredit menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah menjadi pengaruh buruk bagi utang para pengembang properti. Maklum, 2/3 utang perusahaan-perusahaan properti ini berdenominasi dollar AS.

Menurut catatan Moody’s, dari lima perusahaan properti, yakni PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN), Lippo Karawaci memiliki rasio utang dollar terbesar. Menyusul Alam Sutera dan Modernland.

Moody’s melihat, emiten properti ini hanya melindung nilai utang dollar hingga level kurs tertentu. Dengan rupiah di level terendah sejak 1998, sekitar 80% utang pokok dollar dan pembayaran bunga tak terlindungi. “Ini akan mengokntribusi beban terkait utang karena kerugian kurs,” kata Jacintha Poh, AVP-Analyst Corporate Finance Group Moody’s.

Editor: Barratut Taqiyyah.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*