Rupiah Ditutup Melemah di Posisi Rp 13.168/USD

shadow

Financeroll Laju nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa (15/3) sore, melemah 111 poin menjadi Rp 13.168 per dolar AS dibandingkan dengan sebelumnya Rp 13.057 per dolar AS.  Sentimen eksternal mempengaruhi laju mata uang rupiah terhadap dolar AS. Mata uang domestik bergerak turun ke level Rp13.100 per dolar AS menjelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). 

Jelang pertemuan FOMC, pelaku pasar uang cenderung mengakumulasi dolar AS seraya mencermati keputusan kebijakan bank sentral AS untuk mencari petunjuk tentang peluang untuk kenaikan suku bunga berikutnya.  Selain itu, rupiah juga terbebani oleh pergerakan harga minyak mentah dunia yang terkoreksi setelah Iran menyatakan tidak akan bergabung dalam pembahasan mengenai pembatasan produksi. Harga minyak yang kembali menurun dikhawatirkan berdampak pada komoditas lainnya.

Terpantau, harga minyak mentah jenis WTI Crude pada Selasa sore ini, berada di level 36,33 dolar AS per barel, turun 2,29 persen. Sementara minyak mentah jenis Brent Crude di posisi 38,64 dolar AS per barel, melemah 2,25 persen.  Sementara itu, pelemahan rupiah masih tertahan seiring dengan data neraca perdagangan Indonesia periode Februari 2016 yang surplus mencapai 1,14 miliar dolar AS dimana kinerja ekspor mencapai 11,30 miliar dolar AS sementara impor sebesar 10,16 miliar dolar AS.  Diharapkan, kinerja neraca perdagangan tetap positif sehingga menjaga stabilitas perekonomian domestik ke depannya.  Dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Selasa mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp 13.087 dibandingkan Senin (14/3) Rp 13.020.  

Bertitik tolak pada kondisi global saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dinilai masih berpeluang diturunkan lagi. Penurunan BI rate masih dimungkinkan, meskipun Indonesia mengalami kehilangan momentum di pasar tenaga kerja dan perlambatan harga komoditas.   Economic Advisor and Associate Director, Oxford Economics Tom Rogers menjelaskan, pada tahun ini, Indonesia akan mengalami kenaikan produk domestik bruto (PDB) menjadi 5,1 persen, dari posisi 4,8 persen pada tahun 2015. Kenaikan ini terus berlanjut hingga tahun 2017 menjadi 5,5 persen.

Di sisi lain, negara ASEAN yang lain seperti Malaysia, justru mengalami penurunan PDB menjadi 4,2 persen pada 2016. Sedangkan Vietnam dan Filipina justru meningkat ke angka 6,3 persen dan 6,1 persen pada tahun ini. Sementara Singapura ke angka 3,3 persen pada 2018.  Kinerja ekonomi terbaik di enam negara ASEAN adalah negara di mana pertumbuhannya ditentukan oleh kekuatan domestik serta adanya ruang untuk dukungan kebijakan dari pemerintah. Kami percaya bahwa Indonesia, Filipina dan Vietnam mempunyai prospek pertumbuhan yang terbaik diantara enam negara ASEAN yang dicerminkan melalui faktor-faktor di sektor domestik seperti rendahnya nilai hutang, stabilitas ekonomi makro serta tingkat gaji. Faktor-faktor ini akan membantu ketiga negara tersebut untuk meningkatkan pangsa pasar mereka di industri berbiaya rendah.

Efek dari lambannya pertumbuhan di Tiongkok akan berdampak secara berbeda di negara-negara ASEAN. Tiongkok merupakan mitra perdagangan terbesar bagi Malaysia, Singapura dan Thailand. Terutama, Singapura dan Thailand dapat menjadi rentan terhadap perlambatan ekonomi Tiongkok karena posisi mereka sebagai rantai pasokan di wilayah regional untuk barang-barang elektronik. Menurunnya permintaan dan harga untuk komoditas juga akan menjadi salah satu kekhawatiran yang menjadi dampak dari ekonomi Tiongkok.  Indonesia, Filipina dan Vietnam mempunyai paparan risiko yang lebih rendah pada sektor manufaktur yang mana Tiongkok mempunyai kapasitas yang sangat besar. Tingkat gaji di ketiga negara juga ini berarti bahwa perlambatan ekonomi di Tiongkok tidak berpengaruh terhadap perkembangan industrialisasi di ketiga negara tersebut.

Regional Director untuk Asia Tenggara Mark Billington menjelaskan, negara-negara ASEAN akan terus melakukan reformasi ekonomi dan akan mengalami pertumbuhan dalam beberapa tahun ke depan. Namun demikian terdapat periode ketidakstabilan di pasar keuangan karena terkena dampak dari lintas pertumbuhan baru ekonomi Tiongkok.  Perlambatan ekonomi Tiongkok yang lebih parah akan menjadi ancaman besar bagi ekonomi negara-negara ASEAN, bersamaan dengan keadaan keuangan yang ketat di saat negara-negara industri memberlakukan normalisasi kebijakan moneter. Hal ini akan sangat berpengaruh besar bagi negara-negara dengan utang yang sangat tinggi. [Sugeng R]


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*