Rupiah disetir isu dari luar negeri

JAKARTA. Rupiah berada di persimpangan. Mata uang Garuda rentan terkoreksi, sebab pasar fokus menanti arah kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed. Namun, peluang penguatan terbuka, karena investor mungkin profit taking dollar.

Akhir pekan lalu (20/11), di pasar spot, rupiah mampu menguat 1,10% ke Rp 13.623 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, rupiah terapresiasi 0,34% ke posisi Rp 13.739 per dollar AS.

Analis Central Capital Futures Wahyu Tri Wibowo menilai, rupiah berada pada fase konsolidasi. Mendekati rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) 15-16 Desember 2015, pelaku pasar cenderung hati-hati. Dollar AS masih menjadi instrumen andalan, sehingga posisinya lebih kuat.

“Tapi, di sisi lain, keunggulan dollar bisa dimanfaatkan investor untuk ambil untung (profit taking) dalam dollar. Ini membuka ruang penguatan rupiah,” jelasnya. Wahyu menambahkan, rupiah juga didukung sentimen dari pasar Asia.

Bank Sentral China (PBoC) kembali memberi stimulus dengan memangkas tingkat suku bunga pinjaman. Ini bisa memberi angin segar bagi mata uang kawasan Asia, termasuk rupiah. Namun, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto bilang, dari dalam negeri masih minim sentimen.

Maka, pergerakan rupiah akan disetir sentimen eksternal. Alhasil, ia melihat, arah pelemahan rupiah lebih besar pada awal pekan ini. “Sentimen negatif bagi rupiah bersumber dari pernyataan Presiden The Fed New York, William Dudley,” tuturnya.

Dalam pernyataan pada Sabtu (21/11), Dudley meyakini inflasi Paman Sam akan segera menyentuh 2% dan pasar tenaga kerja stabil. Maka, peluang The Fed untuk menaikkan suku bunga kian di depan mata.

Itu sebabnya, Rully menduga, hari ini (23/11), mata uang Garuda rentan melemah ke kisaran Rp 13.600-Rp 13.750 per dollar AS. Sementara, Wahyu memperkirakan, rupiah akan konsolidasi antara Rp 13.500- Rp 13.750 per dollar AS.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*