RI Siap Antisipasi Kebijakan The Fed

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menyatakan kesiapannya dalam mengantisipasi kebijakan lanjutan Bank Sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed). Pemerintah yakin dampak kebijakan tersebut tidak akan membahayakan perekonomian Indonesia.

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus menyatakan, kebijakan tersebut sudah dalam perhitungan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Antisipasi yang dilakukan oleh BI antara lain fasilitas kerja sama transaksi repo dengan sejumlah bank negeri maupun swasta,” katanya, (25/3).

Sementara antisipasi yang dilakukan oleh Kemenkeu antara lain melalui skema Bond Stabilization Framework (BSF). Ini adalah kerangka kerja jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi dampak krisis di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik.

Menurutnya, kebijakan the Fed tentu akan menyebabkan adanya tarikan modal kembali ke AS. “Artinya kita harus siap bahwa porsi asing dalam pasar modal kita kemungkinan berkurang,” katanya. Sehingga pemerintah harus mendorong investor dalam negeri untuk mengisi celah itu. Karenanya, ada langkah-langkah pendalaman pasar finansial oleh BI dan rencana insentif repatriasi dari Kemenkeu.

Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady menambahkan, terdapat potensi peningkatan ekspor akibat kebijakan The Fed, khususnya barang konsumsi. “Kalau terjadi kenaikan suku bunga di sana, kita harus dorong kekosongan produksi di sana,” kata Edy. Antisipasi lainnya adalah peningkatan pembiayaan untuk mendorong ekspor ke negeri Paman Sam.

Menteri Keuangan Chatib Basri masih optimis investor tidak akan terburu-buru melarikan modalnya dari Indonesia. Dia yakin penawaran Surat Utang Negara (SUN) tahun ini masih tinggi. Menurutnya, kondisi Indonesia relatif lebih stabil dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. “Saya kira minatnya masih tinggi. Penawaran yang masuk besar sekali,” ujarnya.

Ia menjelaskan, adanya penawaran yang tinggi disebabkan risiko di Indonesia relatif kecil dibandingkan negara-negara lain seperti Turki, Brazil, Afrika Selatan, dan India. Terlebih lagi dengan kejadian di beberapa negara yang kondisinya sedang tidak menguntungkan, seperti masalah politik di Turki. Thailand juga tengah mengalami masalah politik.

Ekonom Bank Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menilai kebijakan lanjutan AS bergantung pada dua indikator makroekonomi negeri Paman Sam yaitu meningkatnya inflasi sehingga di atas dua persen dan penurunan tingkat pengangguran menjadi 6,5 persen. Ryan menjelaskan, kenaikan suku bunga atau the Fed Rate juga masih belum diketahui besarannya.

“Saat ini nilanya masih 0,25 persen. Apakah akan naik menjadi satu persen. Ini belum diketahui,” kata Ryan. Oleh karena itu, BI, Kemenkeu, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus berkoordinasi untuk menghasilkan takaran kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dan terukur

Pekan lalu, the Fed mengumumkan pemangkasan program stimulus moneternya sebesar 10 miliar dolar AS menjadi 55 miliar dolar AS setiap bulan. Sedangkan the Fed Rate diperkirakan meningkat menjadi satu persen pada akhir 2015 dan 2,5 persen pada akhir 2016. Dalam sebuah kesempatan, Yellen mengungkapkan kerangka waktu untuk penaikan suku bunga dapat dilakukan sekitar enam bulan setelah berakhirnya stimulus pada akhir 2014.
n muhammad iqbal/satya festiani ed: fitria andayani

Informasi dan berita lain selengkapnnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.


Distribusi: Republika Online RSS Feed

Speak Your Mind

*

*