Prospek menghijau emiten kebun

JAKARTA. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) justru membawa berkah bagi emiten perkebunan. Maklum, perusahaan seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Salim Invomas Pratama Tbk (SIMP) banyak mengekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Apalagi, harga CPO berpotensi naik.

Analis Ciptadana Sekuritas Andre Varian menilai, ada sejumlah katalis yang mendukung emiten perkebunan pada tahun ini. Selain pelemahan rupiah, emiten perkebunan akan menikmati kenaikan harga CPO. Sejak awal tahun 2015, harga minyak sawit mulai bangkit. Pemicunya adalah banjir yang melanda Malaysia, produsen CPO terbesar kedua di dunia.

“Hingga April, masih ada peluang kenaikan harga minyak sawit,” katanya. Analis Mandiri Sekuritas Hariyanto Wijaya sependapat. Menurutnya, hujan lebat dan banjir yang berkepanjangan di Malaysia dapat mengganggu produksi CPO di Malaysia.

Empat wilayah yang paling buruk terkena banjir berkontribusi 30% terhadap total produksi CPO Malaysia. Bahkan, The Malaysian Palm Oil Agency (MPOA) memperkirakan, produksi CPO Januari 2015 akan turun 20% month to month (mtm). “Dengan momentum banjir, harga CPO global akan terdorong naik hingga dua bulan ke depan,” tulis Hariyanto dalam riset 8 Januari 2014.

Menurut analis Buana Capital Teuku Hendry Andrean, terlepas efek banjir, kenaikan harga CPO di kuartal pertama memang bersifat seasonal. “Biasanya, harga turun sejak Oktober hingga November, kemudian mulai naik pada Maret hingga April,” jelasnya.

Sementara Andre menyebutkan, kenaikan permintaan dari India menjadi sentimen positif bagi emiten perkebunan. Saat ini, importir CPO terbesar di dunia ini mengalami defisit edible oil. Kebutuhan itu hanya dapat dipenuhi melalui impor, karena luas lahan tanam dan cuaca tak mendukung untuk meningkatkan produksi domestik.

Selain itu, ancaman badai El Nino juga bisa menjadi kabar baik bagi emiten perkebunan. Ramalan cuaca di AS pada 17 November 2014 memprediksi badai El Nino akan terjadi pada kuartal II-2015.

Andre memperkirakan, hingga April 2015 harga CPO masih akan membaik di kisaran RM 2.400-RM2.450 per metrik ton (MT). Setelah itu cenderung turun dengan kisaran di level RM 2.300 per MT. Sementara, Hariyanto memprediksi, tahun ini harga CPO akan kembali menyentuh level RM 2.700 per MT.

Efek harga minyak

Kendati demikian, Andre dan Teuku mengingatkan, jebloknya harga minyak mentah dunia bisa menjadi faktor penghambat. Harga minyak mentah dunia yang sudah bergerak di bawah US$ 50 per barel bisa membatasi kenaikan harga CPO. “Penurunan harga minyak yang tajam bisa mengurangi daya saing CPO sebagai sumber energi untuk biodiesel,” ujar keduanya.

Seperti diketahui, pemerintah berencana meningkatkan penggunaan biofuel dari B10 (campuran biofuel 10%) menjadi B20 pada tahun depan, selanjutnya B30 pada 2020. Meski demikian, Andre meyakini, tahun ini, emiten sektor CPO masih akan tumbuh kuat karena pertumbuhan permintaan global. Ia melabelkan overweight ke sektor perkebunan dan memilih SGRO dan LSIP sebagai perusahaan yang bakal cemerlang di tahun ini.

SGRO memiliki pertumbuhan penghasilan dari setiap lahan yang cukup besar yaitu US$ 6.000 per hektare. SGRO juga memiliki valuasi cukup rendah dengan proyeksi PE tahun ini 8,5 kali. Rata-rata PE emiten perkebunan adalah 11 kali.

Hariyanto merekomendasikan buy untuk AALI, SGRO dan LSIP. Ia memilih SGRO dan LSIP sebagai emiten yang berpeluang memiliki performa bagus di tahun 2015. Adapun Teuku merekomendasikan buy untuk LSIP. Menurutnya, LSIP berpeluang mendulang keuntungan dari pelemahan rupiah dan konsistensi pemerintah terhadap bio energi. Targetnya, LSIP di harga Rp 2.210 per saham.

Editor: Barratut Taqiyyah


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*