Pemerintah Jangan Terlampau Gembira dengan Surplus Neraca Perdagangan

Jakarta -Secara kumulatif, sudah dua bulan terakhir selama Januari-Februari 2016 terjadi penurunan baik impor dan ekspor Indonesia dibanding periode yang sama pada tahun lalu (Januari-Februari 2015).

Penyebab utama penurunan neraca perdagangan Indonesia masih disebabkan oleh rendahnya harga minyak dunia yang anjlok di kisaran US$ 30-40 per barel, bahkan sempat menyentuh level kurang dari US$ 30 per barel, terendah dalam dekade terakhir.

“Jadi, pemerintah jangan terlampau gembira dulu dengan kabar suplus neraca perdagangan ini, karena surplus ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal (jatuhnya harga minyak),” kata Ekonom INDEF dan Kandidat Doktor Durham University Business School, Inggris, Dzulfian Syafrian, kepada detikFinance, Selasa (15/3/2016).

Impor migas pasti turun secara “nilai” akibat anjloknya harga minyak dunia ini, hanya saja jika dilihat lebih dalam dan detil, “volume” impor biasanya tidak berubah sesignifikan “nilai” ekspor/impor.

Bahkan, pada Februari 2016, volume impor migas mengalami kenaikan sebesar 1,72% dibanding bulan sebelumnya, meskipun secara nilai mengalami penurunan 8,79% dari US$ 1,22 miliar menjadi US$ 1,11 miliar.

Data ini justru sebenarnya mengkhawatirkan karena: (1) mengkonfirmasi bahwa kondisi (surplus/defisit) neraca perdagangan Indonesia masih sangat bergantung pada impor migas; (2) konsumsi masyarakat terhadap migas masih tinggi dan terus tumbuh; sehingga ketika harga minyak nanti merangkak naik, maka neraca perdagangan Indonesia akan terancam defisit kembali.

Penurunan harga minyak seperti saat ini sebenarnya adalah peluang besar bagi indonesia. Negara-negara net pengimpor minyak (net importer countries) seperti Indonesia sangat lah diuntungkan dengan anjloknya harga minyak dunia.

Selain membuat neraca perdagangan menjadi surplus yang bisa membantu stabilisasi rupiah, penurunan harga minyak juga merupakan insentif bagi dunia usaha karena ongkos produksi mereka menjadi lebih rendah, bonus dari turunnya harga minyak dan energi secara keseluruhan.

Namun, penurunan harga minyak juga membuat penerimaan negara (APBN) menjadi lebih sulit. Pos penerimaan dari migas pasti juga akan drop secara signifikan, oleh karena itu, pemerintah harus mencari alternatif penerimaan, salah satu yang utama adalah dengan terus menggenjot dan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan, karena tax ratio kita masih sangat rendah, apalagi jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga.

Selain itu, penurunan harga minyak juga akan menghambat berkembangnya energi-energi alternatif dan terbarukan (alternative and renewable energies), seperti biofuel, biodiesel, dan lain-lain, karena energi alternatif akan kalah bersaing selama harga minyak masih terjangkau.

Meskipun secara monthtomonth kinerja ekspor Indonesia pada Februari 2016 mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya, namun secara kumulatif ekspor Indonesia pada Januari-Februari 2016 masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.

Nilai ekspor Indonesia Februari 2016 mencapai US$ 11,30 miliar atau meningkat 7,80% dibanding ekspor bulan sebelumnya, namun secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Februari 2015 mencapai US$ 21,78 miliar atau menurun 14,32% dibanding periode yang sama tahun lalu, demikian juga ekspor non migas mencapai US$ 19,56  miliar atau menurun hampir 10%.

Melihat data ekspor tersebut, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih atas turunnya ekspor non migas. Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena memang permintaan ekspor barang-barang kita masih lemah karena perekonomian dunia belum pulih.

Bahkan, dunia-dunia sekarang sedang gencar melakukan perang mata uang “currency war” guna mendongkrak ekspor dan perekomian mereka yang terancam resesi. Jika hal ini terus terjadi, baik ekspor migas dan non migas kita akan semakin terpukul. Solusi untuk mencari pasar alternatif dan diversifikasi pasar menjadi agenda mendesak pemerintah.

Ironisnya, nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal (impor produktif) selama Januari–Februari 2016 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar hampir 20% dan 12,62%.

Di sisi lain, impor golongan barang konsumsi (impor konsumtif) justru meningkat 34,38%. Data ini mengindikasikan terus melemahnya produksi industri nasional yang ditunjukkan oleh penurunan impor bahan baku, penolong serta barang modal karena Industri Indonesia sangat bergantung barang-barang impor dalam proses produksinya.

Namun, di sisi lain, Indonesia terus menjadi negara yang konsumtif atas barang-barang impor yang ditunjukkan oleh data naiknya impor barang konsumsi. Tren ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional dan wajib mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk segera mungkin membenahi struktur perekonomian Indonesia.

(drk/dnl)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*