Pemerintah dan Swasta Harus Mampu Meminimalisir Utang Luar Negeri


shadow

Financeroll – Pemerintah maupun swasta harus mampu meminimalisir risiko melesatnya utang luar negeri dengan patuh pada aturan lindung nilai dan rasio pengelolaan utang luar negeri koorporasi swasta nonbank, sejalan dengan penggenjotan investasi asing langsung yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi ke depannya.

Risiko melesatnya debt to service ratio (DSR) akibat terus meningkatnya utang luar negeri tidak bisa dihindari karena saat ini belum ada pertumbuhan yang signifikan dari ekspor akibat pelemahan harga komoditas.

Sementara masih bisa diterima karena ekspor yang turun itu lebih karena efek harga komoditas yang lagi melambat. Makanya harus ada antisipasi dari risiko nilai tukar dengan hedging. Paling tidak risiko yang timbul akibat ULN dapat diminimalisir.

Seperti diketahui, sejak pertengahan Juli, kurs tengah rupiah yang dipatok Bank Indonesia mengalami fluktuasi dan cenderung menunjukkan tren pelemahan. Tak tanggung-tanggung, bersamaan pemberian sinyal kenaikan suku bunga the Fed, rupiah berada pada level Rp12.030 per dolar AS. Sejak saat itu nilai tukar rupiah jarang meninggalkan level Rp19.000 cenderung tembus level Rp12.000 per dolar AS.

Akhir Oktober lalu, BI merilis Peraturan BI tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank yang berlaku per 1 Januari 2015. Dalam aturan itu BI mewajibkan perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai (hedging) dan menyediakan valas dengan rasio tertentu sesuai ketentuan.

Rasio hedging menentukan persentase keharusan korporasi melakukan hedging dari total nilai utang valasnya. Adapun, rasio likuiditas mengukur ketersediaan aset valas untuk memenuhi kewajiban valas dalam kurun waktu 3 bulan ke depan.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung mengatakan beleid tersebut bisa memperdalam pasar keuangan dalam negeri sekaligus menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pasalnya kebutuhan valas yang mendadak dalam jumlah besar untuk membayar utang bisa diminimalisasi. Ini akan berpengaruh pada reputasi perusahaan dan bisa mempengaruhi kepercayaan.

Transaksi lindung nilai harus dilakukan seiring dengan respon BI dengan menaikan BI Rate menjadi 7,75% yang akan kembali memperlambat laju kredit. Di tengah suku bunga dalam negeri yang cukup tinggi, para pelaku usaha memilih untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dari luar negeri yang suku bunganya lebih rendah.

Walaupun tidak mempermasalahkan kenaikan DSR, dihimbau agar DSR tidak sampai menembus 50%-60% yang pada gilirannya akan membawa risiko kenaikan biaya pinjaman karena kemampuan membayar valuta asing dinilai menurun.

Menilik data Bank Indonesia, pada akhir September 2014, ULN RI mencapai US$292,3 miliar, naik 11,2% senilai US$29,4 miliar dari periode yang sama tahun lalu US$262,9 miliar. Melesatnya nilai ULN tersebut turut mengerek besaran DSR kuartal III/2014 membengkak menjadi 46,16% dari 44,29% kuartal sebelumnya.

Pemerintah pun harus berani memprioritaskan PMA yang memproduksi barang hulu dan antara (intermediate goods) serta berorientasi ekspor. Selama ini mayoritas FDI hanya sekadar memproduksi produk hilir yang menyasar pasar domestik. Bahan baku dan barang modalnya pun harus diimpor yang lagi-lagi ikut menyerap dolar di pasar valuta asing dalam negeri.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*