Pasar Tunggu Keputusan The Fed

Jakarta – Kepastian tentang nasib suku bunga acuan bank sentral AS (Fed funds rate/FFR) yang akan diputuskan dalam sidang Federal Open Market Committee (FOMC) pada 16-17 September diperkirakan menjadi sentimen paling dominan bagi pergerakan bursa saham global, regional, dan domestik sepanjang pekan ini. Penetapan naik atau tidaknya FFR bakal memberikan kepastian risiko investasi, sehingga para investor tidak terus terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Akhir pekan lalu (13/9), indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menguat tipis 17,20 poin (0,39 persen) ke posisi 4.360,46. Total transaksi mencapai Rp 3,97 triliun dengan volume 4,65 miliar saham. Investor asing membukan aksi jual bersih (net sell) Rp 57,6 miliar. Alhasil, net sell asing sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) menjadi Rp 8,91 triliun.

Di regional, bursa SSE Comp Tiongkok dan Filipina menguat masing-masing 0,07 persen dan 0,26 persen. Sebaliknya, bursa acuan lainnya di Asia berada di zona merah. Bursa Kospi Korea Selatan terkoreksi 1,06 persen, disusul SET Index Thailand melemah 1,03 persen, FTSE BM Malaysia anjlok 0,65 persen, Nikkei 225 Jepang turun 0,19 persen, Hang Seng Hongkong tergelincir 0,27 persen, dan S&P Sensex India melemah 0,10 persen. Sedangkan Wall Street menutup akhir pekan di jalur hijau. Indeks Dow Jones menguat 0,63 persen, S&P 500 naik 0,45 persen, dan Nasdaq terkerek 0,54 persen.

Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, sentimen dari FOMC lebih berpengaruh terhadap IHSG ketimbang sentimen lain dari regional Asia, seperti pergerakan pasar saham Tiongkok. Sebab, kepastian FFR yang saat ini dipatok pada level 0-0,25 persen bakal memengaruhi setiap lini portofolio investasi, mulai saham, obligasi, sampai nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Jika suku bunga The Fed jadi dinaikkan maka akan ada tekanan dalam periode pendek di saham, obligasi, dan rupiah. Di sisi lain, kenaikan ini mampu berimbas positif dalam jangka panjang karena memberikan kepastian,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.

Hans memprediksi IHSG bertengger di level 5.000 pada akhir tahun, apabila The Fed menaikkan FFR. Namun, posisi IHSG diestimasikan tertahan pada level 4600 jika The Fed memutuskan untuk menunda kenaikan FFR.

Di pasar obligasi, menurut Hans Kwee, tekanan yang selama ini relatif terbatas berpeluang meningkat terus jika The Fed belum juga memberikan kepastian. Namun, pasar obligasi diperkirakan cenderung berkorelasi dengan fundamental ekonomi domestik.

“Hanya saja, berdasarkan analisa kami, The Fed akan kembali menunda kenaikan suku bunga. Itu karena ekonomi Tiongkok yang sedang terpukul. Ekonomi dunia juga tengah bergejolak,” papar dia.

Hans berpendapat, indikator ekonomi seperti laporan tingkat pengangguran AS kemungkinan tidak cukup kuat meyakinkan The Fed untuk segera menaikan suku bunga. Tingkat pengangguran di AS secara keseluruhan turun dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen pada Juli, level terendah sejak April 2008 saat negara itu jatuh ke dalam resesi.

“The Fed juga melihat peluang dolar AS yang semakin menguat ketika suku bunga dinaikkan. Terlalu kuatnya dolar AS bisa menekan kinerja ekspor mereka, inflasi mereka juga sulit naik. Kondisi seperti ini menjadi bahan pertimbangan yang serius,” ujar dia.

Hans memperkirakan IHSG cenderung menguat pekan ini dengan level resistance 4.445-4.511 dan level support 4.269-4.111. Para pemodal disarankan melirik saham PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masing-masing dengan target harga Rp 11.300, Rp 22.500, dan Rp 15.000.

Hans juga merekomendasikan saham PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dengan target Rp 3.100, PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) dengan target Rp 3.900, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan target Rp 11.200, dan PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dengan target Rp 12.000.

Kalahkan Isu Domestik
Secara terpisah, analis Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan, Dow Jones yang mampu menguat akhir pekan lalu menandakan sentimen positif di bursa AS menjelang digelarnya FOMC. Itu berarti pasar menantikan kepastian kenaikan FFR untuk mengukur risiko investasi ke depan.

“Ketika ada kepastian, ekonomi di dalam negeri bisa lebih ditata, Bank Indonesia (BI) juga mampu menghitung langkah kenaikan BI rate,” tutur dia.

Menurut Satrio, tidak ada sentimen yang lebih menarik lagi pekan ini selain isu kenaikan suku bunga acuan The Fed. Bahkan, sentimen kelanjutan paket kebijakan ekonomi di dalam negeri bakal tertutup oleh sentimen kebijakan The Fed terkait suku bunga. Selain itu, gejolak ekonomi dan politik di Malaysia diprediksi tidak berimbas sampai ke dalam negeri.

Pasar, kata Satrio Utomo, sebetulnya tidak perlu menyikapi kebijakan The Fed dengan kekhawatiran berlebihan. Ketika mampu melewati level resistance 4.450, IHSG bisa menuju level 4.700 sampai 4.900.

Sepanjang pekan ini, Satrio merekomendasikan saham PT Astra International Tbk (ASII) beserta anak-anak usahanya, seperti PT United Tractors Tbk (UNTR) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).

Sementara itu, analis PT Asjaya Indosurya Securities Wiliam Surya Wijaya mengatakan, hasil FOMC bukan soal membawa IHSG menjadi lebih terpuruk atau tidak. Namun, hasil FOMC cenderung menjadi acuan para pelaku pasar dalam menentukan langkah ke depan. Sepanjang pekan ini, Wiliam memprediksi IHSG bergerak pada kisaran 4.269-4470

“Sampai akhir tahun, terlepas dari apakah FFR akan naik atau tidak, seharusnya IHSG masih mampu menutup perdagangan di atas 5.200. Saat ini pasar lebih cenderung bergerak karena faktor psikologis, bukan logis,” tandas dia.

Arah Rupiah
Di sisi lain, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) I Kadek Dian Sutrisna mengungkapkan, ketika skenario The Fed menaikkan suku bunga terealiasi, banyak mata uang bakal terdepresiasi dalam jangka pendek karena dolar AS kian kuat.

“Yang perlu menjadi perhatian, meski berpeluang terdepresiasi sampai ke level Rp 14.500 pada sisa tahun ini, masa recovery rupiah bisa lebih cepat jika FFR naik. Pemulihan rupiah cenderung lama apabila terjadi sebaliknya,” papar dia.

Kadek menambahkan, dolar AS yang semakin perkasa turut menjadi dilema bagi pemerintah AS. Depresiasi nilai tukar di sejumlah negara membuat pertumbuhan ekonomi global melambat, sehingga cenderung mengganggu kinerja ekspor AS. “Pada titik inilah berbagai resiko finansial diperhitungkan oleh FOMC,” ucap dia.

Kepala Riset NH Korindo Securities Reza Priyambada mengatakan, paket-paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah dan BI pekan lalu sangat positif. Hanya saja, pengumuman itu tidak banyak berpengaruh ke pasar. Kondisi ini terefleksi pada rupiah yang masih melemah. Pelaku pasar kemungkinan belum sepenuhnya merespons positif kebijakan-kebijakan tersebut.

“Bisa jadi pelaku pasar menunggu realisasi dan mekanisme untuk menjalankan kebijakan tersebut, sehingga tidak hanya menjadi kebijakan yang sifatnya normatif,” tegas Reza yang memprediksi rupiah berdasarkan kurs tengah BI bergerak di bawah target support Rp 14.265 atau pada kisaran Rp 14.395-14.300 sepanjang pekan ini.

Investor Daily

Farid Firdaus/FMB

Investor Daily


Distribusi: BeritaSatu – Pasar Modal

Speak Your Mind

*

*