Menperin: Industri Baja Dalam Negeri Sekarat

Jakarta -Harga komoditi yang tengah anjlok, membuat industri di dalam negeri pun mengalami kesulitan. Salah satunya industri baja nasional. Menteri Perindustrian Saleh Husin menyebut, industri baja dalam negeri tengah sekarat.

“Kita tahu bahwa industi baja kita sementara ini kalau mau dibilang cukup sekarat. Maka kita perlu ambil langkah, agar industri baja dalam negeri ini bisa dapat bersaing,” kata Saleh saat ditemui usai rapat koordinasi bersama Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Sofyan Djalil di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (20/2/2015).

Saleh mengatakan, pemerintah bakal membentuk tim untuk merumuskan beberapa kebijakan baru, agar industri di dalam baja di dalam negeri kembali berkembang. Karena diketahui, industri baja adalah industri penopang di sektor manufaktur.

“Tentu tadi kita rapat perlu masih ada pendalaman untuk mendalami beberapa kegiatan, nanti akan dibentuk tim untuk memformulasikan beberapa kebijakan. Salah satunya tarif bea masuk sekitar 15%, ini perlu ada kajian kembali agar industri baja dalam negeri kita tumbuh sehat,” tuturnya.

“Salah satu yang membuat beban adalah cost energy cukup tinggi. Gas atau listrik. Perlu ada satu kebijakan apakah pemerintah ini mau mengambil revenue di depan atau di belakang. Seminggu ke depan ini akan dibahas,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur‎ Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Irvan Kamal Hakim, menolak industri baja di dalam negeri dikatakan sekarat, meski memang sedang dalam keadaan goyah karena harga baja global sedang anjlok.

“Bukan sekarat, bahasanya jangan seram begitu. Kita bilang harga baja global jatuh kemudian di semua belahan dunia mengalami hal yang sama. Negara lain menerapkan berbagai langkah untuk melindungi hulu bajanya, dan juga hilirnya. Pemerintah Indonesia dalam rangka itu,” katanya.

Irvan menjelaskan, salah satu contoh aspek yang membuat industri baja dalam negeri sulit bersaing adalah karena harga energi primer yang melambung, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN.

“Paling rill itu sekarang harga gas alam itu US$ 4 Malaysia, industri manufaktur US$ 7,3 sampai US$ 9,8. Harga migas dunia itu sudah anjlok. Kalau harga energi primer itu turun, pasti harga komoditas juga turun karena pelemahan ekonomi, daya saing Indonesia juga kena dampak,” katanya‎.

(zul/dnl)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*