Memetakan Trump Effect dari Indonesia

INILAHCOM, Jakarta – Kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS tahun ini mengejutkan banyak pihak. Pernyataannya dalam kampanye memicu kecemasan ekonomi global karena sangat kontroversial. Apa saja dampaknya bagi Indonesia?

Mantan Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri menilai trend pelemahan nilai tukar rupiah akan terus terjadi, seiring dinamika politik pasca terpilihnya Donald Trumph sebagai Presiden AS terpilih.

“Tapi jika Trump betul-betul menjalankan kebijakan ekspansi fiskal, maka ada risiko buat rupiah,” kata Chatib dalam acara UOB Indonesia Economic Outlook 2017 di Jakarta, Rabu (16/11/2016).

Apalagi, kata Chatib, saat ini kondisi perekonomian global dan AS masih penuh dengan ketidakpastian, sehingga kata dia Bank Sentral AS The Fed tidak akan menaikan tingkat suku bunganya.

Dia memprediksi, The Fed akan menyesuaikan suku bunga di akhir 2017 paling cepat dan paling lambat 2016. Karena likuiditas berbondong-bondong ‎keluar dari negara lain dan pulang kampung ke AS, maka diproyeksikan Chatib, kurs rupiah akan mengalami tekanan.

“Kalau interest rate naik, likuiditas balik ke AS, rupiah akan tertekan atau melemah baik medium maupun long term. Sehingga era uang murah akan berakhir dalam setahun ke depan, tapi belum akan terjadi 3-6 bulan ini,” katanya.

Pada perdagangan pagi ini, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta, bergerak menguat sebesar 18 poin menjadi Rp 13.332 per dolar AS dari posisi sebelnya sebesar Rp13.350 per dolar AS.

“Rupiah stabil di kisaran Rp13.300 per dolar AS walaupun secara umum tekanan eksternal masih membayangi,” kata ekonom Samuel Sekuritas, Rangga Cipta.

Rangga Cipta menambahkan bahwa Bank Indonesia juga masih aktif di pasar valas dan surat utang negara (SUN) dalam rangka menstabilkan harga di tengah aliran keluar dana asing dalam beberapa hari terakhir ini.

Ia mengatakan pelaku pasar juga akan fokus ke pengumuman Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 November 2016 yang diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan (BI 7-Day RR) di 4,75 persen.

Dari eksternal, lanjut dia, harga minyak mentah dunia yang kembali menguat setelah spekulasi pemangkasan produksi oleh anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) kembali muncul menjaga fluktuasi mata uang komoditas.

Kendati demikian, menurut dia, dolar AS berpotensi terapresiasi kembali seiring dengan data manufaktur Amerika Serikat yang membaik di tengah sentimen “Trump Effect”.

Sementara itu, Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra menambahkan bahwa masih adanya potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed Fund Rate) pada Desember 2016 mendatang juga masih membatasi apresiasi mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Selain peningkatan suku bunga, investor juga masih mencoba untuk menelaah kembali dampak-dampak yang akan terjadi menjelang pemerintahan Trump pada 2017,” kata Ariston.  [hid]
    


Distribusi: Inilah.com – Pasarmodal

Speak Your Mind

*

*