Logam industri terhantam yuan

JAKARTA. Devaluasi yuan oleh People’s Bank of China (PBoC) turut menyeret harga komoditas logam industri ke jurang yang lebih dalam. Harga komoditas yang sudah lesu semakin tak berdaya.

Meskipun China menempuh kebijakan devaluasi yuan guna menggenjot ekspor yang sebelumnya merosot 8,3% di bulan Juli 2015, tindakan tersebut memicu kepanikan pelaku pasar. Analis menduga, harga komoditas logam industri masih terpuruk hingga akhir tahun 2015.

Timah

Di antara komoditas logam industri, penurunan harga timah mungkin yang terdalam. Sejak akhir tahun 2014 lalu harga timah sudah tergerus 22,03%. Meski begitu, saat yuan terdevaluasi harga timah cenderung minim pergerakan.

Mengutip Bloomberg, Kamis (13/8) pukul 12.54 WIB harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tidak diperdagangkan, sehingga stagnan di level US$ 15.125 per metrik ton seperti penutupan hari sebelumnya. Namun sepekan terakhir harga sudah merosot 2,41%.

Ibrahim, Direktur PT Komoditi Ekuilibrium Berjangka, mengatakan, salah satu yang menjadi penahan harga timah adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33/M-Dag/Per/5/2015 tentang ekspor timah di Indonesia yang berlaku awal bulan ini.

Sebagai salah satu produsen utama timah, kebijakan Indonesia ini cukup memberi harapan bagi harga timah di masa mendatang.

Apalagi hingga saat ini produsen yang bisa melakukan transaksi timah baru PT Timah Indonesia. “Ini bisa menghambat ekspor dan sedikit mengeringkan pasokan global,” kata Ibrahim.

Menilik LME per Kamis (13/8) pukul 15.00 WIB, stok timah sebanyak 6.345 ton atau masih naik 45 ton secara harian. Sehingga diduga sentimen positif dari Indonesia masih sementara.

Sedangkan terpaan sentimen negatif dari global justru lebih besar. Melemahnya yuan membuat keperkasaan USD kian tak terbendung.

Ini juga bisa menjadi faktor yang menahan langkah The Fed menaikkan suku bunga di September 2015. “Jika The Fed menahan suku bunga dan pasar terus berspekulasi, harga tetap akan turun meski tidak terlampau dalam,” jelas Ibrahim.

Selain itu, jika nantinya devaluasi yuan berhasil menggenjot ekspor China, bisa menjadi peluang harga komoditas bertahan. Ditambah lagi jika Kamis (20/8) Yunani berhasil membayar utang ke European Central Bank (ECB)  sehingga dana bailout sebesar 98,9 miliar euro mengalir, timah bisa mendapat peluang menguat.

Ibrahim memprediksi dengan skenario seperti itu harga timah di akhir tahun 2015 bisa berada di level US$ 13.000 per metrik ton. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka harga bisa tersungkur lebih dalam ke level US$ 10.000 per metrik ton.

Aluminium

Setelah devaluasi yuan Selasa (11/8), harga aluminium langsung tersungkur ke level terendahnya sejak 2009 di US$ 1.587 per metrik ton. Ini membuat rentang penurunan sejak akhir tahun 2014 membengkak menjadi 14,47%.

Pada Kamis (13/8) pukul 12.54 WIB, harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange turun 0,31% menjadi US$ 1.584 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga sepekan tergelincir 0,50%.

Ibrahim bilang, tekanan dari China cukup besar bagi aluminium. Data produksi industri Tiongkok bulan Juni 2015 kembali terpuruk. Ini semakin menegaskan permintaan aluminium untuk produksi di China menurun.

Penjualan aluminium turun 20% menjadi 360.000 metrik ton di bulan Juli 2015. Selain itu, ekspor aluminium Negeri Panda di Juli 2015 tergerus 28% menjadi 2,87 juta ton. Aluminium menjadi bahan baku utama industri, terutama otomotif dan pesawat terbang.

Permintaan China yang lesu membuat stok aluminium di LME terpantau cukup tinggi. Hingga Kamis (13/8) pukul 15.00 WIB, stok mencapai 3,36 juta ton atau naik 98% sejak awal tahun 2015.“Selama ini terbantu permintaan yang cukup besar dari aktivitas industri di Eropa, tapi sekarang Eropa belum pulih,” ujar Ibrahim.

Lesunya aktivitas ekonomi ini diduga Goldman Sachs Group Inc akan menggelembungkan pasokan aluminium dari 2,5 juta ton menjadi 3 juta ton sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Maka Ibrahim menduga hingga akhir tahun 2015, harga masih bearish dan bisa terseret hingga ke US$ 1.400 per metrik ton.

Senada, Goldman Sachs Group Inc juga memangkas proyeksi harga aluminium sekitar 21% sepanjang 2016 hingga 2018 mendatang.

Pada tahun 2016, prediksi harga aluminium semula US$ 1.925 direvisi menjadi US$ 1.525 per metrik ton. Pada 2017, dari prediksi US$ 2.100 direvisi menjadi US$ 1.625 per metrik ton. Selanjutnya pada 2018, dari prediksi US$ 2.200 direvisi menjadi US$ 1.700 per metrik ton.

Nikel

Mengutip Bloomberg,pukul 12.54 WIB, harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) pada Kamis (13/8) naik 0,3% ke level US$ 10.630 per metrik ton dibandingkan hari sebelumnya. Selama sepekan harga turun 2,02%. Harga ini sudah turun 27,41% sejak akhir tahun 2014.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, menyatakan, kenaikan harga nikel dari level terendah di US$ 10.600 per metrik ton pada Rabu (12/8) kemarin merupakan rebound teknikal saja. Menurut Wahyu, devaluasi Yuan turut andil dalam penurunan harga kemarin. Apalagi setelah Kamis (13/8) nilai yuan kembali didevaluasi. Ini bisa menyebabkan ketidakpastian yang mencemaskan pasar.

“Kecemasan pasar itu negatif untuk ekonomi karena bisa melemahkan pertumbuhan dengan berkurangnya permintaan dan harga komoditas akan berjatuhan,” kata Wahyu.

Menurut dia,  saat ini dunia sedang berada dalam perang ekonomi. Sehingga, Wahyu menyangsikan The Fed jadi menaikkan suku bunga pada September atau Desember nanti.

“Bisa saja selanjutnya akan ada manipulasi mata uang yang menyerang devaluasi, seperti yang dituduhkan menteri keuangan AS,” kata Wahyu. Sampai akhir semester kedua nanti, Wahyu setuju bahwa dampak devaluasi Yuan masih akan membayangi harga-harga komoditas.

Di akhir tahun, Wahyu menduga tren bearish nikel masih belum berubah dengan harga bertengger di level US$ 10.600 per metrik ton.

Tembaga

Efek devaluasi mata uang yuan juga memukul harga tembaga. Pada Kamis (13/8) pukul 12.54 WIB, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange turun 0,5% ke level US$ 5.165 per metrik ton. Sebelumnya pada Selasa (11/8), tembaga mencatat harga terendah sejak tahun 2009 di angka US$ 5.125 per metrik ton. Sepanjang tahun ini harga tembaga sudah melorot 18%.

Andri Hardianto, Research and Analyst PT Fortis Asia Futures, mengatakan, keputusan Bank Central China mendevaluasi mata uang yuan bertujuan untuk menggenjot ekspor. “Tetapi efeknya kita harus menunggu data yang akan datang seperti GDP China di kuartal III-2015. Kondisi yang terjadi sekarang belum cukup untuk mengerek harga tembaga,” ujar Andri.

Saat ini, kondisi ekonomi China masih negatif. Terlihat dari paparan data ekonominya yang masih mencatatkan rapor merah. “Data yang masih belum positif ini tentu berimbas pada menurunnya permintaan tembaga,” imbuh Andri.

Andri menilai, prospek tembaga hingga akhir tahun ini masih lesu. Hal ini seiring lesunya perekonomian China dan Jepang, mengingat konsumsi tembaga di Asia mencapai 40% dari total konsumsi dunia.

Selain itu, devaluasi yuan serta pemangkasan suku bunga China membuat pasar berspekulasi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga di bulan September. Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed juga mempertimbangkan kondisi ekonomi global. Andri menilai, jika The Fed kembali menunda kenaikan suku bunga, maka komoditas akan terus tertekan oleh kenaikan dollar AS.

Andri menduga, harga tembaga hingga akhir tahun cenderung melemah di kisaran US$ 5.000 per metrik ton. Lalu untuk jangka pendek hingga sepekan ke depan, Andri menebak harga tembaga akan turun di kisaran US$ 5.180- US$ 5.250 per metrik ton. 

Editor: Yudho Winarto


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*