Komoditas energi meredup

JAKARTA. Awal tahun ini, harga minyak mentah semakin rendah. Tak pelak, pelemahan harga minyak ikut menyeret turun harga komoditas energi lainnya, seperti gas alam dan batubara.

Soalnya, para pengguna komoditas substitusi tersebut memilih beralih ke minyak yang harganya sedang rendah. Berikut ini, evaluasi harga komoditas energi di permulaan tahun 2015:

Minyak

Harga minyak dunia terus tertekan menuju level terendah (bottom) baru. Faktor kelebihan pasokan lantaran Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mempertahankan level produksi 30 juta barel per hari menjadi penekan utama komoditas strategis ini.

Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (28/1) pukul 15.55 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Maret 2015 di bursa New York Mercantile Exchange kembali turun 0,61% dibandingkan dengan hari sebelumnya menjadi US$ 45,57 per barel. Jika dibandingkan dengan akhir 2014, harga sudah terpangkas 15,92%.

Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, harga minyak sulit bangkit (rebound) jika OPEC tidak mengurangi produksi minyak. “Harga minyak sedang mencari level bottom baru yang saya perkirakan di kisaran US$ 40-US$ 42 per barel,” kata Ariston.

Koreksi harga disinyalir terkait kian masifnya produksi minyak serpih alias shale oil di Amerika Serikat (AS). Minyak mentah yang diproduksi dengan menggunakan teknologi canggih ini dianggap sebagai sinyal bahwa AS mulai swasembada minyak. 

Padahal, biaya produksi shale oil sebenarnya lebih mahal. Ekstraksi minyak mentah di negara-negara Arab diperkirakan membutuhkan biaya US$ 30 per barel. Sementara untuk memproduksi satu barel shale oil menghabiskan biaya sekitar US$ 50.

OPEC memandang shale oil sebagai sebuah ancaman. Oleh karena itu, OPEC keukeuh mempertahankan level produksi 30 juta barel per hari meski harga minyak terjun. OPEC tidak ingin kehilangan pangsa pasar yang potensial direbut shale oil.

Ariston bilang, harga minyak tidak akan masuk tren bullish jika belum menembus US$ 52 per barel. “Jika masih di bawah level itu, minyak tetap bearish,” jelas Ariston.
Pekan ini, investor disarankan mengambil posisi sell on rally dengan kisaran support US$ 42-US$ 40 dan resistance US$ 52 per barel. 

Batubara

Pergerakan harga batubara selama satu bulan pertama di 2015, belum menunjukkan tanda-tanda bangkit. Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo  Laksono melihat, belum ada satu pun faktor, baik teknikal maupun fundamental, yang bisa memberikan sinyal positif penguatan harga si hitam.

Pada Rabu (28/1) pukul 15.15 WIB, harga batubara kontrak pengiriman Maret 2015 di ICE Futures turun 3,2% dibandingkan hari sebelumnya ke US$ 58 per ton. Secara year to date, harga  sudah tergerus 5,2%. “Harga komoditas anjlok, sudah pasti batubara terkena imbasnya juga,” kata Wahyu. 

Lesunya perekonomian global menjadi penyebab utama pelemahan harga batubara. Apalagi, harga minyak tengah terperosok. Sebagai komoditas pengganti minyak, harga batubara pun ikut turun.

Kendati begitu, sepekan terakhir harga batubara naik tipis 1,3%. Harga tengah konsolidasi karena pasar sedang menanti hasil pertemuan dewan gubernur The Fed (FOMC) yang digelar hari ini. Ini merupakan rapat perdana The Fed di 2015.

Tren harga batubara, menurut Wahyu, masih bearish. Batubara sebelumnya sudah terganjal isu lingkungan hidup, karena penggunaan komoditas ini dianggap menimbulkan polusi dan merusak alam. Ditambah dengan penurunan harga minyak, harga batubara semakin tenggelam.

Tekanan harga batubara akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2015. “Apapun skenarionya, The Fed menaikkan atau tidak suku bunganya, batubara masih akan jatuh,” kata Wahyu. Batubara cuma punya peluang naik jika harga minyak rebound.

Wahyu menyebut, biasanya harga batubara bangkit di awal tahun. Bahkan level tertinggi harga bisa disentuh di bulan Januari. Pola ini lazim terjadi di pasar sejak 2011 silam. “Sehingga jika sekarang harga bergerak di level US$ 57-US$ 58 per ton, ya, setahun tidak akan tembus lebih dari level itu,” jelas Wahyu.

Wahyu menduga harga batubara di semester I-2015 akan bergulir di US$ 40-US$ 70 per ton dengan nilai tengah kisaran US$ 55 per ton. 

Gas alam

Harga gas alam juga mengempis. Lesunya permintaan global ditengah melonjaknya suplai menjadi faktor utama yang membebani komoditas energi ini. Pada Rabu (28/1) pukul 16.00 WIB  di New York Mercantile Exchange, kontrak pengiriman gas alam bulan Maret 2015 senilai US$ 2,867 per mmbtu.  Sepekan terakhir, harga gas alam tumbang 2,4%. Jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu, harga gas berkurang 1%.

Analis dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka Ibrahim mengatakan, harga gas alam tertekan karena perlambatan ekonomi China dan Eropa. China merupakan raksasa industri dan menjadi salah satu pengguna gas alam terbesar. 

Penggunaan gas alam di Eropa yang tengah menghadapi masalah deflasi juga cukup besar sebagai energi penghangat saat musim dingin tiba. “Di tengah menurunnya permintaan dari China dan Eropa, suplai gas alam di AS justru naik. Ini menahan penurunan harga gas alam,” ujar Ibrahim.

Ibrahim meramalkan, harga gas alam dalam jangka pendek akan berbalik menguat. Sebab, saat ini pelaku pasar tengah menanti hasil pertemuan FOMC. Kemungkinan, The Fed tidak akan membahas kenaikan suku bunga pada FOMC kali ini. Kondisi ini akan melemahkan indeks dollar AS sehingga ada harapan harga gas alam terkerek.

Di sisi lain, sambung Ibrahim, harga gas alam mendapat sokongan dari musim dingin yang berlangsung di AS dan Eropa. Saat ini, kondisi musim dingin cukup ekstrem di mana ketebalan salju mencapai 60 cm. 

Ibrahim menduga harga gas alam akan kembali turun pada akhir semester I-2015. Penurunan ini seiring landainya harga minyak yang diprediksi akan menyentuh level US$ 40 per barel di pertengahan tahun ini. “Kemungkinan harga gas alam hingga semester I-2015 mendekati US$ 2,300 per mmbtu,” imbuh Ibrahim. Adapun, resistance harga gas alam pada semester I-2015 berada di level US$ 3,200 per mmbtu.

Editor: Yudho Winarto


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*