Kisruh Freeport Gerus Pendapatan BRI Rp1 M/Bulan

INILAHCOM, Timika – Manajemen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Timika, Papua, mengaku kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp1 miliar per bulan sebagai dampak dari krisis yang menimpa perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia sejak Februari 2017.

Kepala BRI Cabang Timika Muhammad Yusuf, Jumat, mengatakan setiap bulan pertumbuhan rata-rata penyaluran kredit BRI Timika sebesar Rp1,5 miliar hingga Rp2 miliar terutama kredit tanpa agunan dari karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi (perusahaan yang mengelola aset Freeport) dan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport.

“Peningkatan pinjaman rata-rata perbulan di BRI Timika sekitar Rp1 miliar. Kesimpulannya, kalau dua bulan kami hentikan pemberian pinjaman kepada karyawan maka kami sudah kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp2 miliar,” kata Yusuf.

Ia mengakui sejak awal Februari lalu BRI Timika menempuh kebijakan seleksi ketat pemberian kredit baru kepada karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi dan subkontraktor PT Freeport.

Dalam perjalanan waktu karena kondisi Freeport tidak juga membaik bahkan dinyatakan dalam kondisi “force major” maka BRI memutuskan menghentikan seluruh pemberian pinjaman kepada karyawan sejak pertengahan Februari.

Yusuf mengatakan BRI Timika cukup khawatir dengan semakin banyaknya karyawan perusahaan privatisasi dan kontraktor Freeport yang kini mengalami Pemutusan Hubungan Kerja/PHK.

Dengan semakin banyaknya karyawan yang di-PHK, katanya, BRI kehilangan aset yang produktif.

“Kami tidak khawatir soal pinjaman dilunasi atau tidak. Ketika karyawan di-PHK, tentu mereka akan menerima pesangon, dimana pesangon yang mereka dapatkan cukup besar sehingga bisa langsung melunasi sisa cicilan kredit. Tapi setelah itu mereka tidak produktif lagi karena kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan,” jelas Yusuf.

Menurut dia, BRI Timika justru sangat mengkhawatirkan kondisi karyawan yang sekarang dinyatakan ‘forelock” atau dirumahkan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja.

Posisi karyawan dengan status “forelock” itu, katanya, tidak jelas apakah nanti akan dipekerjakan kembali atau akan diberhentikan seterusnya.

Dalam situasi ketidakpastian tersebut, BRI mengharapkan agar PT Freeport dan perusahaan-perusahaan subkontraktornya membuka diri untuk membagi data siapa-siapa saja karyawan yang telah dirumahkan dan di-PHK.

Dengan mengetahui data karyawan yang terkena PHK dan dirumahkan apalagi memiliki pinjaman di BRI maka perbankan akan melakukan berbagai langkah mengantisipasi kemungkinan terjadi kredit bermasalah dan lainnya.

“Kami tidak menutup mata dengan kondisi yang ada. Kami juga memahami situasi ini dan merasakan kesulitan yang dihadapi karyawan yang di-PHK dan dirumahkan,” uajrnya.

“Kami membuka diri apabila ada karyawan yang mengalami kondisi itu agar datang menanyakan ke BRI bagaimana penyelesaian kewajibannya. Kalau memang masih ada kepastian akan dipekerjakan kembali maka kami bisa merescheduling jadwal pinjamannya. Misalkan masa waktu pinjaman selama lima tahun bisa diundur hingga 10 tahun,” tambah Yusuf.

Sesuai laporan dari PT Freeport, hingga Rabu (15/3), total karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya yang telah dirumahkan dan di-PHK sudah mencapai 3.340 orang.

Proses PHK dan merumahkan karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya diprediksi akan terus berlanjut mengingat Freeport kini hanya bisa memasok 40 persen produksi konsentratnya ke pabrik smelter PT Smelting di Gresik, Jawa Timur.

Vice President PT Freeport Indonesia Bidang Security & Risk Manajemen Amirullah saat pertemuan dengan Kapolda Papua Irjen Polisi Paulus Waterpauw bertempat di Hotel Serayu Timika, Rabu (15/3) malam, menyebutkan bahwa PT Freeport telah mengapalkan konsentrat ke Gresik sejak 8 Maret 2017.

Adapun operasi pabrik pengolahan biji PT Freeport di Mil 74, Tembagapura akan dimulai kembali pada 21 Maret 2017.

Kondisi buruk yang cepat berubah di PT Freeport terjadi setelah pemerintah menyetop keran izin ekspor konsentrat Freeport sejak 12 Januari 2017 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Pihak Freeport sempat menyetujui untuk mengubah Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani sejak tahun 1991 oleh Presiden Soeharto ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang disyaratkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

Dalam perjalanan, Freeport malah bersikap sebaliknya yaitu tetap mempertahankan rezim KK dan tidak mau mengikuti anjuran pemerintah untuk berubah ke IUPK agar bisa tetap mengekspor 60 persen produksi konsentratnya ke luar negeri.

Bahkan sejak 20 Februari 2017, Freeport mengancam akan menyeret Pemerintah Indonesia ke lembaga Peradilan Arbitrase.

Semenjak itulah, Freeport menyatakan kondisi perusahaan dalam keadaan “force major” dengan melakukan berbagai langkah efisiensi termasuk merumahkan sebagian karyawannya. Sedangkan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport malah menempuh kebijakan PHK karyawannya. [tar]


Distribusi: Inilah.com – Pasarmodal

Speak Your Mind

*

*