Ketika Rupiah Laku di Timor Leste dan Dolar AS Diterima di Perbatasan RI

Atambua -Toko-toko kebutuhan pokok di wilayah Timor Leste yang berbatasan dengan wilayah Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) Indonesia menerima transaksi mata uang dolar AS dan rupiah.

Secara umum, Timor Leste‎ merupakan negara yang memakai uang dolar AS, namun khusus di wilayah perbatasan para pemilik toko menerima transaksi pakai rupiah.

Sebagai negara yang memakai mata uang dolar AS, di Timor Leste patokan harga barang dibanderol dalam nilai dolar AS, termasuk di toko-toko, di wilayah perbatasan. Para toko di Timor Leste yang ada di perbatasan menerima mata uang lain selain dolar AS yaitu rupiah.

Bagi warga negara Indonesia yang belanja perbatasan di Timor Leste dengan mata uang rupiah, maka dikenakan kurs lumayan tinggi atau di atas rata-rata pasar yang berlaku. Misalnya ketika dolar AS di pasar uang umum hanya Rp 13.500, di toko perbatasan, dolar dihargai lebih tinggi sampai Rp 14.000.

Misalnya harga 1 botol saus sambal yang dibanderol US$ 2,5‎ di sebuah toko di Jalan Batu Gede, Timor Leste, harganya setelah dirupiahkan dengan kurs Rp 14.000 maka mencapai Rp 35.000. Artinya pembeli yang pakai rupiah harus membayar Rp 35.000 meski banderol 1 botol kecap dipatok US$ 2,5.

Penjaga toko yang bernama Ajo Dacrus menjelaskan tokonya memang tak mengikuti persis kurs yang berlaku sesuai harga pasar, tujuannya agar tak rugi saat menukar kembali di money changer di Dili. Bahkan Ajo mengatakan ketika dolar AS masih Rp 13.200, maka kursnya langsung ditetapkan Rp 14.000, ketika dolar AS tembus Rp 14.200, tokonya sudah mematok Rp 15.000/US$ untuk pembeli yang belanja dengan rupiah.

“Untuk perubahan kurs kita pantau dari TV, kurs yang berlaku di pusat kota Dili. Kalau kita ikuti kurs dolar Rp 13.200 kita rugi,” kata Ajo kepada detikFinance di akhir pekan ini.

Ia mengatakan kakaknya yang merupakan pemilik toko, menukarkan rupiah ke dolar AS saat bersamaan ketika belanja barang-barang untuk kebutuhan toko di Kota Dili, Timor Leste. Butuh 2,5 jam dari tokonya yang di pinggir perbatasan untuk mencapai Kota Dili yang berjarak kurang lebih 114 Km dari Batu Gede yang berbatasan dengan Atambua, Indonesia.

“‎‎Kalau di Dili tidak diterima rupiah, jadi harus ditukar ke dolar,” katanya.

Ajo menambahkan, di tokonya tak membedakan nilai tukar dolar AS berdasarkan kondisi fisik uang dolar yang dibelanjakan konsumen. Kondisi dolar yang bagus dan yang lecek atau lusuh tetap dihargai sama.

Selain di toko yang dijaga Ajo, pola transaksi ‎dua mata uang juga berlaku di toko lainnya di kawasan Batu Gede. Di toko yang berdekatan dengan toko Ajo, juga menerapkan hal sama yaitu menjual barang dengan banderol dolar AS, namun juga menerima pembelian dengan mata uang rupiah, misalnya sebuah souvenir selendang kain khas tenun Timor Leste, ukuran kecil dibanderol US$ 4 atau sekitar Rp 56.000.

Sementara itu, di toko-toko kawasan perbatasan yang berada di wilayah Indonesia, transaksi dengan dua mata uang yaitu dolar dan rupiah juga berlaku. Misalnya sebuah toko milik orang Indonesia bernama ‎Hapicin Palu, yang letaknya di Motaain, Indonesia, berdekatan dengan kantor bea cukai pos perbatasan, di toko ini menerima transaksi pakai dolar AS.

Yang membedakannya, toko-toko di Indonesia membanderol harga-harga barang dengan patokan rupiah, sehingga‎ apabila ada pembeli dari Timor Leste yang belanja menggunakan dolar maka akan ada patokan kurs yang dipakai. Di toko yang lokasinya di wilayah Indonesia, patokan kurs dolar ditetapkan pedagang lebih rendah dibandingkan yang dipatok di toko-toko di Timor Leste, misalnya 1 botol air mineral ukuran 600 ml harganya Rp 3.000, bila ada yang belanja pakai dolar AS maka harganya sekitar 25 sen dolar AS.

“Di sini kita terima dolar, kalau satu dolar Rp 12.500 untuk pecahan US$ 5 ke atas, tapi kalau pecahan US$ 1 kita hargai hanya Rp 10.000,” kata Hapicun.

Menurutnya dengan kurs dolar sebesar itu, ia bisa mendapat selesih keuntungan dari penukaran dolar yang diterimanya. Ia mengaku tak bisa memastikan berapa transaksi dolar yang didapat setiap hari di tokonya, namun pengguna dolar di tokonya umumnya adalah orang Timor Leste yang berbelanja di Indonesia.

“Orang dari sebelah (Timor Leste) banyak yang pakai dolar. Kalau dolar lagi tinggi mereka pakai rupiah. Orang Indonesia ada yang juga yang pakai dolar,” katanya.

Hapicun biasanya akan menukar dolarnya dengan rupiah ketika bersamaan berbelanja di pasar Kota Atambua. Ia mengaku tak pernah menukar dolar di money changer di bank yang ada di kawasan Motaain di sekitar tokonya.

“Kalau tukar dolar di sini harganya rendah. Kalau di Atambua tinggi, sampai Rp 13.000,” katanya.

Hapicun mengaku sudah berjualan di perbatasan Motaain sejak 2002. Saat itu, penggunaan dolar maupun rupiah sudah terjadi di toko miliknya dan toko-toko serupa di wilayah Indonesia, yang berbatasan dengan Timor Leste. Alasan ia menerima dolar karena sudah menjadi kebiasaan dan fleksibel dalam melayani pembeli terutama dari negara tetangga.

“Sejak 2002 saya sudah terima dolar, pokoknya sejak Timor Leste pakai dolar AS, di sini sudah terima transaksi selain rupiah,” katanya.‎

(hen/ang)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*