Kenaikan ekspor Indonesia gagal angkat harga CPO

JAKARTA. Harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) terus tertekan seiring dengan melemahnya harga minyak dunia. Kenaikan permintaan rupanya tidak mampu mengangkat harga CPO .

Mengutip Bloomberg, Jumat (13/11) pukul 14.00 WB, harga CPO kontrak pengiriman Januari 2016 di Malaysia Derivative Exchange anjlok 1,8% dibanding sehari sebelumnya menjadi RM 2.289 atau setara US$ 522,3 per metrik ton. Sepekan terakhir, harga CPO turun 1,4%.

Kenaikan volume ekspor CPO Indonesia rupanya tidak mendapat respon pelaku pasar. Data Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, ekspor CPO Indonesia ke India pada bulan Oktober naik 11% dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 679.380 ton. Sementara, ekspor ke China melonjak 36% menjadi 378.870 ton. Bahkan, pengiriman CPO ke Amerika Serikat (AS) naik lebih dari dua kali lipat menjadi 117.740 ton.

Kabut asap akibat kebakaran hutan telah membuat konsumen khawatir persediaan CPO akan menipis. Maklum, kabut asap menghalangi sinar matahari yang diperlukan tanaman kelapa sawit untuk melakukan fotosintesis.

Ariston Tjendra, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan, pergerakan harga CPO sideways sejak pertengahan Oktober lalu. “Hingga saat ini, belum ada berita yang dapat mengangkat harga,” katanya. Dugaan Ariston, harga CPO terus melemah mengikuti pelemahan harga minyak dunia meski ada kenaikan ekspor dari Indonesia.

Hingga saat ini, isu El Nino masih menjaga pergerakan harga sehingga tidak turun terlalu dalam meski diterpa sentimen negatif. Data perekonomian China menjadi salah satu sentiment negatif yang menerpa sektor CPO. Angka inflasi China pada Oktober 2015 secara tahunan masih berada di level 1,3% atau turun dari bulan sebelumnya 1,6% serta di bawah proyeksi 1,5%. Sementara inflasi produsen tetap di level minus 5,9%. Produksi sektor industri secara tahunan masih turun di level 5,6% dibanding sebulan sebelumnya 5,7%. Sementara, penjualan sektor ritel hanya naik tipis 11% dibanding sebelumnya 10,9%. Angka pinjaman pun menurun menjadi 514 miliar yuan dari sebelumnya 1,05 triliun yuan.

Untuk mengangkat perekonomian, negeri Tiongkok sebenarnya sudah menggelontorkan stimulus moneter. Namun, program stimulus belum menunjukkan hasil yang maksimal. “Data China masih terlihat negatif. Isu stimulus juga sudah lama diberitakan sehingga sudah diantisipasi pasar,” ujar Ariston.

Menurut Ariston, pelaku pasar lebih fokus pada isu di luar komoditas, yakni spekulasi kenaikan suku bunga The Fed. Semakin besar kemungkinan suku bunga The Fed naik, dollar AS akan semakin menguat. Di satu sisi, penguatan dollar AS akan membuat mata uang ringgit tertekan sehingga menambah daya saing CPO. Di sisi lain, melambungnya nilai dollar AS juga menekan harga minyak yang juga turut menyeret CPO.


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*