Kemenangan Donald Trump & Mimpi Kelas Menengah AS

INILAHCOM, Jakarta – Donald John Trump, akhirnya terpilih menjadi Presiden AS, menggantikan Barack Obama. Capres asal Partai Republik mampu membenamkan Hillary Clinton yang diunggulkan di awal. Kenapa bisa?

Ya, terpilihnya Trump yang dijuluki Raja Kasino ini, mewarisi masalah besar di sektor ekonomi. Ini menjadi tantangan berat bagi Trump.

Sikap ultrakonservatif  Trump jelas bakal melahirkan banyak kontroversi saat memimpin AS. Namun ingat, kontroversi Trump tidak hanya berlaku bagi warga AS saja, negara lain juga bakalan kebagian imbasnya.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana Trump akhirnya mengalahkan Hillary Rodham Clinton. Capres asal Partai Demokrat yang digadang-gadang banyak lembaga survei menjadi pemenang, akhirnya keok.  

Selama beberapa dekade ini,  AS mampu membuat iri seluruh negara di dunia. Pantas saja, AS dengan jumlah populasi kelas menengah yang terbesar di dunia, pasarnya cukup menggiurkan.

Dengan modal inilah, Uncle Sam menjadi pendorong perekonomian dunia yang utama. Amerika pun menjadi negara penuh impian dan kebebasan. Menarik bagi para imigran dari berbagai benua untuk meraih “American Dream”.

Akan tetapi, kini semua itu hanyalah tinggal bongkahan sejarah. Kelas menengah di Amerika, mulai mengecil. Bahkan ada yang bilang hampir menghilang.

Salah satu contoh, rasio gaji para eksekutif pada 1950 dibandingkan dengan rasio gaji buruh adalah 30:1. Namun, kini angka tersebut berlipat sepuluh hingga lima belas kali menjadi 300-500:1. Artinya, telah terjadi distorsi yang sangat besar dan dahsyat.

Jumlah warga dhuafa di AS yang tercermin sebagai penerima kupon makan mencapai 40 juta jiwa. Angka ini naik menjadi 43 juta jiwa pada 2011. Kupon makanan adalah program dasar pemerintah federal guna mengatasi kelaparan. Paket bantuan ekonomi meningkatkan jumlah santunan sebesar US$80 per bulan untuk satu keluarga dengan empat anggota (mirip BLT di Indonesia).

Di sisi lain, 10% rakyat Amerika menguasai 50% perekonomian. Artinya, telah terjadi disparitas yang parah di negara yang dikenal biang-nya kapitalisme.

Kenyataan lainnya,  yang harus dihadapi tenaga kerja AS yang dikenal pintar, ulet, kuat, dan loyal, ternyata tak mampu bersaing dengan tenaga kerja dari belahan dunia lain. Lantaran, tenaga kerja AS mahal diongkos alias mahal.

Sebagai contoh, para pekerja AS di sektor garmen kalah saing dengan pekerja asal Cina dengan upah 86 sen per jam. Atau pekerja asal Kamboja dengan upah 22 sen per jam. Kenyataan ini membuat pekerja kelas menengah di AS semakin terpinggirkan.

Di tengah kegalauan dan kebimbangan kelas menengah AS, Trump hadir dan mampu  menumbuhkan harapan baru. Ya, selama ini, kelas menengah di AS merindukan adanya perubahan akibat tekanan ekonomi.

Trump dinilai bisa menjawab kecemasan warga AS mulai soal ancaman teroris, terutama dari kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State/ISIS).
 
Dalam kaitan ini, salah satu faktor kemenangan Trump adalah kemampuan Trump menyampaikan pesan kegelisahan kelas menengah AS, perihal kondisi ekonomi negaranya dengan cara sederhana, meski terkesan radikal.

Janji kampanye Trump untuk memangkas pajak bagi perusahaan dan masyarakat kelas menengah, jelas merupakan angin surga. Apalagi, masyarakat di kelas ini cukup besar di AS. Sebaliknya kampanye Hillary mematok tarif pajak tinggi bagi para konglomerat.

Selain itu, Trump menjanjikan renegosiasi dagang yang bisa menjadikan AS memegang kendali. Trump juga berhasil melakukan identifikasi diri dengan kelas menangah AS dengan “American Dream yang mereka dambakan yakni mengenai kebebasan dalam politik dan ekonomi, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan dan hak kepemilikian properti.

Di mana, American Dream ala Trump ini, menawarkan kebebasan bagi masyarakat AS untuk membuat keputusan soal nasib hidupnya: kebebasan bercita-cita dan peluang untuk meraihnya, kebebasan untuk mengakumulasi kekayaan, serta kebebasan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Dalam American Dream itu, yang paling populer adalah memperoleh pekerjaan yang baik dan kepemilikan rumah. Kepemilikan rumah menjadi simbol, karena bagi sebagian orang memiliki rumah adalah simbol kesuksesan dan kemandirian keuangan.

Seiring perkembangan zaman, kredo American Dream menjadi salah satu perdebatan baru, apakah kepemilikan rumah menjadi salah satu mimpi orang-orang Amerika menyusul krisis real estate buble di tahun 2008? Ternyata, kepemilikan rumah dan pekerjaan yang baik merupakan American Bream yang luas di kalangan kelas menengah.

Kelas menengah AS juga kesal dan tidak suka dengan arus  imigran gelap (ilegal) dari tetangga selatannya, Meksiko. Kelas menengah AS diam-diam mendukung komentarnya yang anti imigran ilegal asal Meksiko, bahkan  tidak menolak keinginan Trump membangun  tembok pemisah antara Amerika Serikat dengan negara tersebut.  
Mereka pun mendukung  pernyataan Trump bahwa dia akan menolak kedatangan orang-orang yang beragama Islam sampai negara tersebut menemukan cara menangani radikalisasi, yang mana untuk sekarang fenomena tersebut diwakili oleh Islamic State of Iraq and Syria, atau lebih populer dengan ISIS

Dan, kelas menengah AS sangat kecewa dengan kebijakan Barack Obama (Partai Demokrat) yang gagal mendorong permintaan dari luar untuk barang-barang yang mereka produksi. Pemerintah AS cenderung menanamkan uang pada valuta dan saham di luar negeri dibandingkan investasi.

Karena itulah, Obama terpaksa bergantung kepada obligasi yang akhirnya hanya menambah jumlah hutang luar negeri, yang juga merupakan bukti yang jelas bahwa industri swasta di Amerika Serikat kesulitan dalam berkompetisi dan menyerap jumlah tenaga kerja. Hal itu bisa dilihat dari peningkatan hutang luar negeri Obama melalui pengangkatan debt ceiling atau batas hutang.

Batas hutang pada tahun 2009 atau tahun pertama ARRA dilaksanakan adalah 12,394 miliar dolar Amerika Serikat, dari yang sebelumnya US$12,104 miliar. Bahkan, menurut laporan Forbes, Pemerintah AS bisa saja memiliki batas hutang sebesar US$ 20.000 miliar pada 2016.

Walaupun Obama sudah menalangi banyak industri dalam negeri, salah satunya raksasa industri otomotif Amerika Serikat seperti General Motor, namun prioritasnya membangun industri yang ramah lingkungan dan proteksionis dengan menggunakan kebijakan seperti Cash for Clunker, yang memberi potongan harga kepada pembeli mobil yang rendah emisi dan ramah lingkungan, atau Buy American yang mendorong perusahaan-perusahaan dalam negeri membeli komoditas Amerika Serikat, tidak berlangsung lama.

Kelas menengah AS kecewa pada program Obama ini. Cash for Clunker  berakhir pada 2010, dan gagal karena 3 dari 5 perusahaan otomotif yang ikut program tersebut adalah perusahaan asing, yang semuanya dari Jepang sehingga tidak mendorong penjualan mobil dalam negeri. Sedangkan, Buy American berakhir karena perusahaan-perusahaan tidak menyetujui pengenaan bea tambahan dari komoditas luar negeri dan ditentang oleh Partai Republik karena melanggar prinsip persaingan bebas.

Dengan begitu, banyak kelas menengah Amerika Serikat yang merasa intervensi ala Obama ini membatasi perusahaan dalam negeri untuk menyerap tenaga kerja dalam negeri. Maka tidak heran, kelas menengeh AS menganggap Donald Trump yang adalah sosok yang pro-bisnis lebih tahu banyak tentang bagaimana tenaga kerja Amerika Serikat kembali terserap.[ipe]


Distribusi: Inilah.com – Pasarmodal

Speak Your Mind

*

*