Kelompok BRICS Alami Kenaikan Risiko Politik

INILAHCOM, Hong Kong – Berlangsungnya pemilihan umum di negara berkembang memberikan potensi risiko terhadap mata uang.

Menurut CEO of the global broking center at AON, Karl Hennessy, pada tahun ini, kelima negara yang sering dikenal sebagai BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan menghadapi peningkatan risiko politik. Hal ini bersamaan dengan potensi meluasnya krisis politik yang terjadi di Ukraina.

Risiko politik di China telah meningkat saat ini. Pemicunya dengan kebuntuan kebijakan ekonomi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Demikian mengutip cnbc.com.

Krisis politik di Ukraina yang mengakibatkan aneksasi Semenanjug Crime ake Rusia telah meningkatkan risiko terburuk untuk Rusia. “Isu geopolitik meningkatkan risiko bisnis dan risiko transfer dengan meningkatkan risiko kekurangan modal.

Krisis politik di Ukraina berpotensi menyebar ke beberapa negara bekas Uni Soviet. Mereka adalah Armenia, Belarusia, Georgia dan Moldova.

Sedangkan India juga memiliki risiko dengan masalah hukum dan birokrasi. Kasus korupsi menduduki tingkat yang tinggi. Selain itu masalah sengketa teritorial, teorisme dan konflik regional serta etnis juga menekan prospek ekoomi negara tersebut.

Untuk Brasil dengan perlambatan ekonomi berpotensi meningkatkan risiko politik. Hal ini menjadi keprihatinan khusus karena tahun ini menjadi tuan rumah piala dunia sepak bola dan Olimpiade di 2016.

Sementara untuk Afrika Selatan terancam potensi pemogokan di sektor pertambangan. Perekonomian tersebut terbebani upah yang tinggi karena akan meningkatkan biaya operasional.

Menurut mantan direktur Goldman Sachs Asset Management, Jim O’Niell, dengan risiko politik tersebut bersamaan dengan kebijakan suku bunga rendah dan stimulus moneter di negara maju. Dengan proses pemilihan ekonomi di negara maju.

O’Neill yang memperkenalkan istilah BRICS pada tahun 2001 masih berharap negara berkembang akan menjadi penggerak perekonomian global. Dia menilai China masih akan memiliki peran penting.

Walaupun ada potensi penurunan investasi di negara berkembang akan menghambat transfer dana atau repatriasi aset. Risiko bisa muncul kalau tiba-tiba terjadi normaliasi kebijakan moneter AS,

Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 4,9 persen di tahun ini. Untuk tahun depan pertumbuhan bisa ke 5,3 persen. Perkiraan ini turun 0,2% untuk tahun 2014 an turun 0,1% untuk tahun 2015 seperti yang dirilis bulan Januari lalu.

Hennessy telah meneliti risiko politik di 163 negara. Dia menganalisa risiko dari faktor hukum dan birokasi serta campur tangan politik, kekerasan politik yang mempengaruhi keluarnya modal asing.


Distribusi: Inilah.com – Pasarmodal

Speak Your Mind

*

*