KADIN, Tak Perlu Skeptis Target Pertumbuhan Ekonomi 7%

FINANCEROLL – “Dunia usaha juga tidak seharusnya hanya beharap dan menunggu. Dunia usaha perlu menempatkan diri pada posisi proaktif bekerja bersama pemerintah,” kata Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto dalam Rakernas Kadin yang bertema  Mengetahui Arah Politik Anggaran Pemerintahan Jokowi – JK di Jakarta, Jum’at (21/11).Menurut Suryo, dunia usaha memiliki perspektif tersendiri  dalam memahami permasalahan ekonomi, baik  sebagai sarana untuk menciptakan kemakmuran maupun sebagai instrumen pertumbuhan. Keunggulan posisi dunia usaha sebagai pelaku ekonomi itu harus disumbangkan kepada pemerintah untuk kepentingan nasional.

Suryo menjelaskan, kelemahan negara dalam melakukan pembangunan dapat dilihat dari ruang fiskal yang jauh dari menggembirakan. Selama ini ruang fiskal yang sempit kita kaitkan dengan besarnya subsidi BBM. Namun di balik itu hutang Indonesia dengan luar negeri juga sangat memprihatinkan. Sampai Agustus 2014 hutang swasta mencapai sekitar Rp 3,540 triliun,  atau setara dengan USD 290, 4 milyar. Kemampuan negara dalam membayar hutang dari tahun ke tahun ternyata juga terus menurun. Debt to service ratio dewasa ini mencapai lebih dari 40%. Hutang pemerintah sampai dengan September 2014 mencapai Rp 2.602 triliun atau 25% dari PDB. Meskipun jumlah hutang ini masih dianggap aman karena dibawah batas 60%, tetapi pembayaran cicilan dan bunga sudah cukup membebani APBN.

“Dengan beban pembayaran hutang dan beban subsidi BBM yang demikian besar, maka APBN hanya cukup untuk belanja rutin.  Dengan penerimaan pajak yang kurang dari 70%, maka kemampuan negara untuk melakukan pembangunan memang sangat lemah. Bahkan untuk membayar cililan dan bunga hutang, negara harus mengambil hutang baru. Belum lagi adanya kenyataan bahwa kepemilikan asing atas surat hutang juga sangat besar, yakni sekitar 38%,” ungkap Suryo.

Dia menyebutkan, masalah fiskal lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah pendapatan pajak yang terus menurun. Dalam tahun ini target pendapatan pajak diperkirakan tidak tercapai. IMF memperkirakan kebocoran penerimaan pajak mencapai sekitar 40%.

“Rendahnya pendapatan pajak ini menyebabkan defisit primer, yakni pendapatan dikurangi belanja tanpa pembayaran hutang, terus membesar. Dalam tahun 2012 defisit primer yang hanya Rp 45,5 Triliun, dalam tahun 2014 akan mencapai Rp 111 triliun atau lebih dari dua kali lipat,” papar Suryo.

Di sisi lain, lanjut dia, hutang swasta dengan luar negeri yang demikian besar pada dasarnya disebabkan oleh bunga pinjaman yang tinggi di dalam negeri sedang bunga pinjaman di luar negeri rendah. Tingginya hutang Indonesia secara keseluruhan ini menyebabkan tekanan pada nilai rupiah, menguras cadangan devisa serta membebani APBN.

“Kenyataan ini merupakan ironi, tapi perlu dipertanyakan apakah tingginya bunga pinjaman di dalam negeri memang merupakan survival measures bagi industri perbankan atau karena sebab lain?” kata Suryo.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Hariyadi Sukamdani mengatakan semua target yang hendak dicapai oleh pemerintah perlu dirumuskan lebih lanjut dalam angka-angka di APBN mendatang.

“Yang masih belum jelas dijabarkan hingga saat ini adalah masalah ketersediaan sumber dana dan anggaran pemerintah,” kata Hariyadi.

Sebelumnya, dalam rapat kabinet terbatas bidang perekonomian pertama, Presiden Jokowi menginstruksikan kabinetnya untuk mengadakan perbaikan fiskaldan percepatan pembangunan infratsruktur dengan memfokuskan masalah subsidi, pembiayaan dan peningkatan optimisme pasar. Targetnya adalah mengamankan APBN-P 2014 hingga akhir tahun ini dan penghematan APBN-P 2015 sampai disahkannya anggaran tersebut. Pemerintah akan fokus untuk menggenjot intensifikasi penerimaan pajak serta mengalokasikan anggaran khusus untuk groundbreaking proyek-proyekinfrastruktur.


Distribusi: Financeroll Indonesia

Speak Your Mind

*

*