Jokowi Punya 8 Taktik Perkuat Rupiah, Ekonom: Yang Penting Implementasi

Jakarta -Akhir pekan ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengumumkan paket kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Paket kebijakan ekonomi perdana Jokowi ini pada dasarnya bertujuan untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit).

Berikut adalah 8 taktik stabilisasi rupiah yang akan dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi:

  1. Pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pengenaan bea masuk anti dumping, dan bea masuk pengamanan sementara (safeguard) untuk produk-produk impor yang terindikasi dumping.
  2. Insentif pajak bagi perusahaan Indonesia yang produknya minimal 30% untuk pasar ekspor.
  3. Penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) untuk galangan kapal nasional. Nantinya industri galangan kapal nasional tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  4. Meningkatkan komponen Bahan Bakar Nabati (BBN) agar impor minyak dan Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa dikurangi.
  5. Insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal.
  6. Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) akan menentukan formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.
  7. Mendorong BUMN untuk membentuk reasuransi.
  8. Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI) akan mendorong dan memaksa proses transaksi di Indonesia memakai mata uang rupiah.

David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), memberi pandangan terhadap beberapa kebijakan tersebut. Pertama adalah pengenaan bea masuk anti dumping.

“Masalah anti dumping ini harus hati-hati. Salah-salah kita bisa dibawa ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), urusannya panjang,” kata David kepada detikFinance, Kamis (12/3/2015).

Pemerintah, lanjut David, harus memastikan bahwa produk yang dikenakan benar-benar terjadi dumping, alias harga ekspor lebih murah dibandingkan dalam negeri.

Kedua adalah insentif bagi perusahaan yang tidak menyetorkan sebagian atau seluruh dividennya untuk direinvestasikan. David menilai kebijakan ini sebenarnya bukan barang baru.

“Soal dividen, ini sudah dibicarakan sejak zaman Pak Chatib Basri jadi Menteri Keuangan. Tapi memang implementasinya yang lambat,” tegasnya.Next

(hds/ang)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*