Jelang Pertemuan The Fed, Bursa Asia Menguat

Tokyo – Bursa saham Asia Pasifik pada perdgangan pagi ini dalam tren positif menyusul kenaikan bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street.

Indeks kawasan Asia Pasifik di luar Jepang, MSCI Asia Pacific Index menguat 0,3 persen, sedangkan indeks Kospi di Korea Selatan bertambah 0,6 persen dan indeks Nikkei Jepang N225 bertambah 0,5 persen.

Kenaikan bursa saham Asia tak lepas dari optmisme pelaku pasar soal pertemuan bank sentral AS The Fed yang memperkirakan otoritas moneter tersebut belum akan menaikkan suku bunganya (Fed rate) yang selama ini berada di level mendekati nol persen. Artinya, The Fed tetap menggelontorkan dana sebesar US$ 15 miliar per bulan untuk pembelian obligasi.

‘”Saya kira pasar berekspektasi bahwa The Fed akan tetap menjaga suku bunga mendekati nol persen, mereka masih khawatir akan sejumlah risiko perekonomian,” kata Senior Strategist Daiwa Securities, Hirokazu Kabeya, di Tokyo, Rabu (29/10).

Bursa saham AS semalam melanjutkan kenaikan seiring kinerja perusahaan tercatat yang positif. Penguatan itu diapresiasi dengan kenaikan indeks Dow Jones Industrial Avg sebesar +1,12 persen dan S&P 500 sebesar +1,19 persen.

Rapat petinggi The Fed berlangsung pada Selasa-Rabu (28-29/10) waktu setempat akan mengumumkan soal keputusan quantitative easing dalam rangka pemulihan ekonomi negara tersebut. Dijadwalkan The Fed akan mengumumkan Rabu pukul 14.00 waktu setempat.

The Fed telah berulang kali menyatakan akan menaikkan suku bunga, setelah menurunkannya ke level terendah pada akhir 2008. Quantitative easing merupakan stimulus dari The Fed menyusul hantaman krisis keuangan yang bermula dari krisis subprime mortgage pada 2008. Bentuk stimulus ini adalah penggelontoran uang senilai US$ 85 miliar per bulan, berupa pembelian surat berharga negara. Seiring membaiknya perekonomian AS, The Fed juga mulai mengurangi pembelian obligasi secara bertahap sejak akhir tahun, dan hingga kini tersisa US$ 15 miliar.

Dengan penggelontoran uang ini, pasokan dollar dunia meningkat, alirannya pun sampai ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Selama stimulus ini berlangsung, dunia mengalami era dollar murah, atau mata uang dunia menguat. Bila stimulus tersebut berakhir, diperkirakan terjadi pengetatan moneter di AS, dan dollar AS akan kembali mahal.

Penulis: Whisnu Bagus Prasetyo/WBP

Sumber:Reuters


Distribusi: BeritaSatu – Pasar Modal

Speak Your Mind

*

*