Jalan Panjang Rupiah Berdaulat di Wilayah Perbatasan

Atambua -Fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah perbatasan ‎khususnya di berbagai garis batas wilayah Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti penggunaan Ringgit di perbatasan Malaysia, Peso di perbatasan Filipina, Kina di perbatasan PNG, dan lainnya masih terjadi. Misalnya di Motaain, Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung dengan wilayah Batu Gede, Timor Leste, penggunaan dolar AS yang merupakan mata uang Timor Leste, masih berlaku di toko-toko Indonesia.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah merupakan alat pembayaran yang sah sehingga wajib digunakan dalam kegiatan perekonomian di wilayah Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran (SE) No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam aturan tersebut, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah di wilayah NKRI dan menolak rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI akan dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

Direktur di Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Luctor E. Tapiheru‎ mengatakan penggunaan mata uang asing di perbatasan memang sudah jadi kebiasaan masyarakat yang tinggal di titik terluar Indonesia. Sebagai penjaga moneter, menurutnya BI punya tugas menyediakan uang kartal yang cukup termasuk di wilayah-wilayah perbatasan, sehingga pasokan rupiah tetap tersedia, penggunaan mata uang asing bisa ditekan.

“Kita menyelenggarakan amanat UU No 7 tahun 2011. Kita diamanatkan menyediakan uang kartal ke seluruh wilayah NKRI. Kita lakukan dalam pecahan kondisi uang rupiah yang layak edar, tidak hanya dalam wilayah perbatasan tapi seluruh wilayah NKRI harus ada uang rupiah,” kata Luctor di Atambua akhir pekan ini.‎

Ia mengatakan wilayah perbatasan memang menjadi konsen BI agar rupiah tetap menjadi mata uang resmi di wilayah Indonesia meski berbatasan dengan negara tetangga. Penggunaan rupiah jadi simbol kedaulatan negara di titik terluar wilayah Indonesia.

“Mengapa kita konsen pada wilayah perbatasan?karena lalu lintas perdagangan cukup tinggi, aktivitas sangat tinggi. Kita ingin rupiah sangat berdaulat. Di daerah perbatasan harus lebih banyak pasokan rupiah,” katanya.

Salah satu langkah BI adalah menyediakan kas-kas titipan di bank-bank umum, kas-kas titipan ini berperan sebagai tempat penukaran rupiah agar kondisi fisik rupiah di masyarakat tetap terjaga, juga pasokannya. Ia mencontohkan di Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste, belum punya kantor perwakilan BI, namun BI ada kerjasama dengan Bank NTT untuk mengelola kas titipan sebagai tempat penukaran rupiah.

Ia mengakui wilayah-wilayah perbatasan yang cukup terisolir, seperti di perbatasan dengan Malaysia dan Papua Nugini (PNG), penggunaan mata uang asing lebih banyak daripada rupiah. Selain persoalan akses infrastruktur, juga ada persoalan kebiasaan dan kesadaran masyarakat di perbatasan yang masih menggunakan mata uang asing.

“Ada masalah kebiasaan masyarakat, makanya ketersediaan rupiah penting di perbatasan. Kita mengakui mungkin tak 100 persen area yang kita bisa cover, makanya bisa melalui BI langsung atau lembaga lain misalnya pakai kas titipan,” katanya.

Luctor menambahkan soal sanksi terkait penggunaan mata uang asing di wilayah perbatasan menjadi ranah aparat penegak hukum.‎ Pihaknya mendorong para kepala kantor perwakilan BI di daerah untuk menggandeng aparat penegak hukum.

“Untuk pengenaan sanksi kita sudah kerja sama dengan Polri, kita juga minta kantor perwakilan wilayah kerjasama dengan kapolda. Kalau dalam UU tegas, kena denda, dan kurungan. Meski 2011 sudah ada undang-undangnya, gaungnya sekarang, kita terus galakkan untuk memberikan edukasi dan memberikan sosialisasi sambil memenuhi ketersediaan (rupiah) itu,” katanya.

Ia menegaskan transaksi mata uang asing di luar perbatasan justru jumlahnya cukup besar, misalnya soal sewa apartemen atau perkantoran di kota-kota besar justru cukup tinggi. Selain itu, Luctor mengatakan persoalan penggunaan mata uang asing juga menjadi konsen di negara-negara tetangga Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan mereka.

“Mereka juga sebenarnya konsen, mereka juga sama konsennya sama dengan kita, karena ini soal isu kedaulatan negara, baru setelah itu masalah ekonomi,” katanya.

Kepala Kantor Perwakilan BI Nusa Tenggara Timur (NTT) Tigor Sinaga mengatakan tahun lalu sempat melakukan survei kecil-kecilan terhadap penggunaan dolar AS di perbatasan Timor Leste khususnya di zona wilayah ‎Indonesia.

Umumnya orang-orang yang menggunakan mata uang asing khususnya dolar AS di perbatasan Timor Leste karena mereka tidak tahu, sehingga upaya sosialisasi ke masyarakat soal penggunaan wajib mata uang rupiah harus terus dilakukan BI.

“Jadi dari survei itu, terungkap bahwa karena ada faktor ketidaktahuan dari masyarakat,” kata Tigor.

Ia mengungkapkan berdasarkan data perbankan di wilayah perbatasan dan Atambua, jumlah penukaran dolar rata-rata per bulan mencapai US$ 1,5 juta. Artinya perputaran bisnis atau transaksi perdagangan lintas batas antara Timor Leste dan Indonesia cukup besar.

Untuk itu, kantor perwakilan Bank Indonesia, terus melakukan sosialisasi ke masyarakat perbatasan soal pentingnya penggunaan rupiah. Salah satu contohnya adalah menggelar sosialisasi dan edukasi soal wajib penggunaan rupiah dan mengenal keaslian mata uang rupiah kepada ribuan pelajar dan masyarakat umum dalam gerakan cinta rupiah yang berlangsung Jumat (16/10/2015) di Lapangan Umum Simpang Lima, Atambua, Kabupaten Belu, NTT, yang merupakan salah satu zona perbatasan dengan negara tetangga.

(hen/ang)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com


Distribusi: finance.detik

Speak Your Mind

*

*