Inilah Dilema Lanjutan Kemenangan Brexit

INILAHCOM, London – Inggris masih menantikan ‘hard Brexit’ atau bahkan ‘very hard Brexit’ yang akan memberikan pengaruh terhadap empat jenis market distress.

Demikian menurut Alberto Gallo, manager portofolio dan kepala strategis makro di Algebris Investments pada Selasa (28/3/2017). Algebris Investments memiliki US$7 miliar aset kelolaan yang akan berakhir pada Februari.

“Uni Eropa sepertinya akan memberikan Inggris perjanjian yang kurang menguntungkan. Jika mereka memberi kesepakatan biasa, maka negara-negara lain akan memiliki kemungkinan untuk melakukan hal yang sama di masa depan,” kata Gallo seperti mengutip cnbc.com.

Di saat yang bersamaan, Inggris telah tertutup mengenai posisi negosiasinya, yang membuat frustasi negara Uni Eropa lainnya dan investor pasar modal. Sebab telah menciptakan ketidakpastian pasar.

Inggris secara resmi akan memulai proses pemisahannya dengan Uni Eropa pada 29 Maret. Demikian menurut perwakilan pemerintah yang diwakili oleh Perdana Menteri Theresa May awal bulan ini.

Gallo mengingatkan kondisi ini akan memberikan tekanan pasar yang akan dihadapi Inggris. Pertama, akan terjadi depresiasi pound, meskipun sudah terjadi namun pound akan terus terpuruk.

Poundsterling telah jatuh sebesar US$1,50 sebelum pemungutan suara untuk keluar dari Uni Eropa ke level US$1,1979. Hari ini pound diperdagangkan sekitar US$1,2560.

Hal ini akan memicu stress pasar yang kedua, yakni inflasi. “Hal ini merugikan banyak orang. Terutama bagi keluarga kelas menengah dan rendah yang memberikan suara untuk Brexit. Populisme yang buruk bagi orang-orang yang menganjurkan hal yang sama,” jelas Gallo.

“Mereka adalah orang yang belum merasakan kenaikan upah dalam satu dekade terakhir dan sekarang mereka akan merasakan harga-harga mulai naik,” katanya.

Ia menekankan bahwa Inggris mengimpor sekitar 50% dari bahan makanan dan 70% dari buah dan sayuran. Sebagai tambahan bahwa harga yang lebih tinggi akan memaksa orang-orang untuk mengurangi konsumsinya.

Kondisi stress  akan dirasakan oleh pemerintah Inggris. Pemerintah perlu meningkatkan belanja negara karena Brexit, yang kemungkinan besar akan meningkatkan pendanaan.

Stress pasar keempat adalah turunnya harga properti, kata Gallo.

Algebris memperkirakan bahwa ekonomi Inggris bisa kontraksi 7,5% dari PDB selama tujuh sampai delapan tahun ke depan usai Brexit. Hal ini setara dengan 300 juta pound (Rp5,027 triliun dengan kurs Rp16.759). Selama sepekan dengan total sekitar 175 miliar pound.

“Jika terjadi ‘very hard Brexit’ maka akan terjadi lebih banyak ketidakpastian, dan kehilangan pekerjaan, maka akan terjadi potensi penurunan pasar properti karena banyak yang kehilangan pekerjaannya dan tidak akan membayar hipotek dan seterusnya. Ini adalah skenario terburuk yang mungkin terjadi,” kata Gallo.

Ia mencatat bahwa sudah ada tanda-tanda bahwa Brexit akan memicu terjadinya kehilangan pekerjaan.

“Yang terlihat saat ini adalah sudah banyak bank dan perusahaan lainnya memulai relokasi pra-emptively pekerjaan di luar London, di luar Inggris. Ada banyak ketidakpastian, dan tidak ada rencana ekonomi dan politik yang nyata untuk menangani ekonomi usai Brexit di Inggris,” tuturnya. [hid]
    


Distribusi: Inilah.com – Pasarmodal

Speak Your Mind

*

*