Inilah dampak jika The Fed menaikkan suku bunga

JAKARTA. Likuiditas keuangan di Indonesia diperkirakan akan sulit di tahun mendatang jika bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve menaikkan suku bunga. Asumsi regulator, kenaikan Fed Fund Rate sebesar 100 basis poin (bps) memicu kekeringan likuiditas perbankan Tanah Air.

Saat ini, pemerintah tengah menakar seberapa besar imbas negatif kenaikan bunga Fed Fund Rate terhadap likuiditas perbankan nasional. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai industri perbankan di Indonesia tengah mengalami kesulitan dalam melakukan ekspansi bisnis karena erat kaitannya dengan semakin ketatnya likuiditas.

Ketatnya likuiditas tersebut juga diperparah dengan tingkat rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Kepala Eksekutif LPS, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, ketatnya likuiditas di industri perbankan membuat sejumlah aksi korporasi sulit dilakukan.

Tidak dipungkiri pada kondisi ini industri perbankan mengalami perlambatan pertumbuhan, baik pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) maupun penyaluran kredit. “Mereka tidak akan bisa ekspansif karena persaingan bunganya berat. Saya lihat, mereka cenderung konservatif, asetnya banyak yang mengalami penurunan. Saya rasa ini sehat karena mereka tidak memaksakan diri dengan bersaing dengan cost yang tidak masuk akal,” kata Kartika.

Menurut Kartika, di tengah kondisi seperti ini, strategi yang paling baik dilakukan oleh perbankan adalah mempertahankan posisi bisnis dikondisi saat ini. Selain itu, baiknya industri perbankan juga tidak perlu berupaya untuk secara agresif menumbuhkan bisnis yang dimiliki.

“Tidak ada salahnya memperlambat laju pertumbuhan dan menunggu kondisi membaik, terutama menunggu melonggarnya likuiditas mengingat likuiditas sudah semakin sulit dipupuk. Jadi, kami melihat ini merupakan defensif strategi mereka yang harus dilakukan dalam likuiditas yang sedang ketat. Nanti, pada situasi membaik, mereka punya kapasitas untuk tumbuh lagi,” ujar pria yang akrab disapa Tiko ini.

Di sisi lain, kata Tiko, industri perbankan Tanah Air perlu mewaspadai adanya perubahan kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat (AS). Sebab, sudah terdapat sinyal The Fed akan menaikkan suku bunganya. Kenaikan tersebut mau tidak mau akan berdampak pada perekonomian Indonesia dan nantinya memengaruhi kinerja perbankan.

“Kedepannya ada beberapa triger, walaupun moneternya melonggar, tapi ada hal yang mesti diwaspadai, pertama kemungkinan the fed menaikan suku bunga acuan pada awal semester I tahun depan. Ini artinya monetery policy kita mudah dilonggarkan karena mengikuti global liquidity, akan ketarik kalau The Fed naik,” jelasnya.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, sebagai antisipasi ketatnya likuiditas pada tahun mendatang jika Fed Fund rate naik, maka industri perbankan baiknya mengurangi atau mengerem laju pertumbuhan kredit.

Menurutnya, perlambatan kredit pada level 12%-15% pada tahun depan, akan sangat baik untuk menyeimbangkan pengetatan likuiditas. Sebab, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tahun depan pun diperkirakan akan bergerak pada level 12%-14%.

“Kalau tahun depan perbankan masih memacu laju pertumbuhan kredit sampai 20%-25%, maka likuiditas akan ketat sekali. Tapi kalau masing-masing perbankan me-reduce (mengurangi) kredit katakan sampai 12%-15%, karena DPK diperkirakan growth sebesar 12%-14%, maka akan bisa seimbang. Jadi tidak akan terjadi pengetatan likuiditas yang lebih ketat lagi,” ucap Jahja.

Lebih lanjut Jahja mengungkapkan, arahan dari otoritas moneter Bank Indonesia dan otoritas perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan sangat dibutuhkan untuk menakar seberapa besar pertumbuhan kredit industri perbankan secara nasional. Menurutnya, jika pengarahan dari BI maupun OJK melemah seperti tahun ini, maka likuiditas tidak akan terlalu ketat.

“Tahun depan tergantung kredit growth dan juga arahan dari BI dan OJK. Kalau memang pengarahannya melemah, maka likuiditas akan cukup. Saya kira meski likuiditasnya ketat, tapi tidak akan mencekik,” katanya.

Presiden Direktur PT OCBC NISP, Parwati Surjaudaja menyatakan, kondisi likuiditas tahun depan akan mempengaruhi pertumbuhan kredit. Ia optimis, pertumbuhan kredit meski di tengah tekanan pengetatan likuiditas tahun depan akan tetap berada di kisaran plus minus 15%.

“Saya optimis tahun depan kredit masih bisa dikisaran plus minus 15%. Harusnya sih tidak lebih rendah. Untuk kredit, Indonesia sebenarnya sudah termasuk tinggi kalau ukuran negara lain,” jelas Parwati.

Karena itu, menurut Parwati, industri perbankan baiknya lebih selektif untuk menyalurkan kredit pada kondisi pengetatan likuiditas itu. Ia masih optimis bahwa tahun depan, pertumbuhan ekonomi akan berjalan lebih baik karena posisi peta politik di Indonesia sudah lebih jelas.

“Harusnya orang juga menjadi lebih berani untuk menginvest kembali. Karena selama ini banyak pihak yang menahan diri untuk berinvestasi sehingga likuiditas juga agak terhambat. Harapan kami, tahun depan akan bisa pulih. Harus optimis tahun depan bisa lebih baik,” ucapnya.

Sebagai gambaran, rasio likuiditas atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional menembus level aman 90%. Per Juni, LDR berada di level 90,25% melesat jauh dari level 86,80% di Juni tahun 2013.

Sementara, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) berada di level 19,45% per Juni lalu. Angka ini naik tipis dari posisi 18,13% di Juni 2013.

Editor: Yudho Winarto


Distribusi: Kontan Online

Speak Your Mind

*

*